Kamis, 11 Juni 2015

Novel pertama karya: Nurbagus S

order segera,,, Rp. 46.000 belum termasuk ongkir.
ceritanya semanis covernya, intriknya bisa menguras air mata pembaca, unsur pendidikannya bukan tentang cinta-cintaan doang, dan buku ini hanya dijual secara online.
pembeli mendapat jaminan kepuasan hiburan, manfaat pendidikan, kreasi imajinasi dan juga pengalaman baru. bonus motivasi untuk mendapatkan mimpi yang kalian punya.
selain itu buku ini dapat menguras emosi, jadi mungkin akan sedikit berkaca" saat membacanya, kalau tidak berkaca-kaca matanya berarti harus dekat bawang baca bukunya.
‪#‎walaupun‬ penulis pemula tapi berani menjamin kualitas.
‪#‎ditunggu‬ testimoninya aja bagi yang udah baca.
makasih.
Cara Order via SMS/WA:
ketik JUDUL_JUMLAH_NAMA_ALAMAT
kirim ke 083831498380
nanti akan ada respon untuk proses pembayaran melalui rekening.

Rekam Jejak Naskah di Antologi






Kisah Dibalik Otak Seni (Antologi Cerpen "Sosok Terhebat" Penerbit Inspimedia)



Gosip itu menyebar disemua sudut sekolah, tentu saja aku lebih dulu mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi. Gosip itu memang benar adanya, lima tahun sudah pak Rudi mengajarkan seni di sekolah yang memiliki julukan sekolah seni ini. Dia bukan PNS dan hanyalah guru honorer, berusaha memberikan ilmu dan idenya untuk almamaternya sendiri. Ya dia sendiri lulusan dari sekolah berjulukan sekolah seni itu, dulu julukan itu belum seramai saat ini.
Kisah itu jelas di ceritakannya padaku, aku adalah buah hasil dari otak seninya. Seorang yang tidak berbakat menjadi orang dengan kualitas lebih baik lagi, terutama dalam bidang seni.
“Ben, gue kali ini benar-benar serius mengundurkan diri dari sekolah”
“Kenapa begitu Beh?” aku biasanya memanggil sebutan babeh untuk pak Rudi, itu panggilan akrabnya.
“Ayo temenin gue keliling sekolah” ajaknya padaku, bahasanya tidak lagi mencerminkan bahwa dirinya seorang guru. Tapi beliau sangat dekat sekali dengan muridnya.
Ruangan itu berubah sejak lima tahun yang lalu, ruangan seni dimana semua anak berbakat berkumpul. Melatih skill masing-masing dengan tekun, mengembangkan seni dengan penuh kesungguhan dan cinta. Kekeluargaan kami sangat dekat sekali, dengan babeh di tengah-tengah kami.
“Lima tahun yang lalu ini ruangan pertama gue” ucapnya dengan penuh makna, makna seorang yang harus segera meninggalkan hal penting dalam hidupnya. Ruangan itu sangat nyaman baginya, sejak lima tahun yang lalu. Saat ini pak Rudi tidak lama lagi untuk meninggalkan ruangan ternyamannya, sebuah ruangan yang penuh cinta baginya.
Ekspresinya tidak lagi ceria, sangat mendung mungkin perasaanya. Masuk kedalam ruangan penuh cerita itu, anak-anak seni seperti biasa bermain di ruangan ini sepulang sekolah. Band, Jaipong, Perkusi, Modern dance, mereka semua adalah penghuni ruangan seni, ya ruangan yang berarti bagi pak Rudi. Aktivitas tidak terganggu sama sekali, Indah masih melakukan tarian Jaipongnya dengan lihai. Pak Rudi duduk dimejanya, belum lengkap jika pak Rudi duduk tanpa di temani kopi hitam kesukaannya.
Seseorang pergi untuk mencarikan kopi, ya semuanya sangat paham dengan kebiasaan babeh.
Sahabat pak Rudi yaitu bu Santi yang juga menjadi back ground atas kesuksesan meraih julukan sekolah seni. Gosip yang sama ternyata mengaitkan bu Santi juga, ya mereka berdua akan keluar dari sekolah. Ruangan ini tidak akan lagi memiliki pengurus seperti mereka berdua yang amat mencintai seni, senyaman di dalam ruangan ini mungkin tidak akan seperti ini jika tanpa di bumbui dengan rasa cinta mereka dengan kesenian.
Sedikit menyentuh kami yang menyaksikan kemendungan dari balik mimik wajah mereka. Mendung menggalau yang biasanya hanya dilakukan pak Rudi dalam adegan teater dengan cerita yang menyayat hati.
“Ben! Ikut gue lagi” ajak pak Rudi padaku, aku menurut saja tanpa banyak pertanyaan. Mungkin jika aku banyak bertanya akan lebih membuat babeh bersedih.
Halaman belakang sekolah, tempat yang paling tidak pernah di pertimbangkan keindahannya. Dekorasi yang tidak di perhatikan membuat halaman belakang sangat tidak enak di pandang.
“Tempat ini indah pada malam hari”
“Iya Beh”
“Cocok untuk tempat melakukan pertunjukan musik akustik”
Aku mengangguk, membayangkan bagaimana pak Rudi dapat amat sangat mengerti tentang keindahan seni. Tak akan ada yang terfikirkan tentang hal seperti yang di fikirkan pak Rudi. Halaman belakang itu memang sangat damai, dengan dibubuhi dekorasi lampu dan susunan kursi penonton yang tertata rapi kemudian di suguhkan dengan alunan musik akustik yang sangat indah sekali.
“Berapa penonton kira-kira?” tanyaku, menanyakan hal yang mungkin saja mencairkan suasana.
“Seratus sampai dua ratus orang”
Aku mendongakan kepalaku, menahan air mata yang nyaris jatuh di pipiku. Teringat bagaimana dulu pak Rudi sangat antusias membantu acara festival ulang tahun sekolah, semua ide dan sarannya menjadikan acara sangat sukses dan berjalan lancar. Sekolah seni itu menurutnya akan terlihat sangat indah pada malam hari.
“Setelah ini Babeh mau kerja dimana?”
“Mau nyoba bekerja di pabrik”
“Nggak akan jadi Dosen di Bandung?” tanyaku lagi penasaran.
“Gue nggak mau lagi ngajar selain di sini Ben!” ucapan itu terdengar sangat menyakitkan, begitu cintanya pak Rudi pada sekolah yang pernah menjadi almamaternya. Membangun sekolah dengan kecintaannya pada seni, dan beliau mencintai almamaternya.
Keliling sekolah yang mungkin untuk terakhir kalinya bagi pak Rudi, bu Wiwit yang merupakan wakil kepala sekolah memanggil pak Rudi. Aku mengerti bahwa ini waktu untuk sebuah perpisahan.
“Nggak kerasa gue udah setua ini” ucapnya sambil berjalan menuju ruangan wakil kepala sekolah. Aku hanya mendengarkan saja.
“Udah lima tahun gue disini, dan sekarang kalian yang harus menjaga hasil perjuangan gue” itu mungkin pesan yang harus aku sampaikan kepada anak seni lainnya. Aku mengangguk tanda mengerti maksudnya, dengan berat hati aku meninggalkan pak Rudi. Kembali menuju ruang seni.
Tiga puluh menit kemudian ternyata pak Rudi masih menyempatkan untuk mengunjungi ruang seni, mungkin untuk berpamitan.
“Gue pamit sama kalian” ucapnya dengan nada berat, ber-akting seperti seorang yang tanpa beban, namun kali ini pak Rudi tidak lagi handal dalam memainkan peran karakternya. Adegan ceria itu sangatlah buruk terlihat, mata pak Rudi jelas tidak bermain.
Semuanya berhamburan memeluk pak Rudi, mengucapkan kalimat perpisahan.
“Jaga ruangan ini, cintailah seni dari hati kalian” itu nasehat yang sangat baik sekali, kami akan mengingatnya selalu.
Pak Rudi benar-benar otak seni dari balik julukan sekolah seni yang dimiliki sekolahku. Lima tahun yang lalu di rintis beliau, saat ini kami harus menjaga julukan itu. sebagai tanda terimakasih kami selama ini, ya kami akan mencintai seni seutuhnya dari hati.
“Terimakasih untuk inspirasinya”
Seperti yang di kisahkan oleh Rizal kepada penulis. Cerpen ini di persembahkan sebagai tanda perpisahan dengan pak Anggi, guru kesenianku.

Bobo Cantik Sahabat (Antologi Semua Kembali Pada-Nya 'Penerbit Goresan Pena')



            Rahma, begitu aku akrab menyapanya, dia sahabatku yang paling dekat, baik, pengertian, perhatian dan begitu menyenangkan. Aku mengenalnya sejak pertama aku pindah domisili dari Sumatra ke Purwakarta, Jawa Barat. Berkenalan dengannya saat aku belum mempunyai teman satupun di sekolah baruku. SMAN 2 Purwakarta.
            Ceritaku menjadi dongeng baginya setiap hari, tawaku sebagai jawaban atas tingkahnya yang menyenangkan, senyumku menandakan setuju bahwa sahabatku memang cantik.
            Tanggal 10 November 2013 menjadi cerita kehilangan terburukku, cerita yang tidak dapat aku dongengkan kepada sahabatku, hari itu aku kehilangan sahabat terbaikku. Rahma.
            Dress code biru yang aku kenakan untuk perayaan ulang tahun sekolah menjadi basah dengan air mataku, acara kacau dan berganti dengan suasana duka cita. Semuanya berawal dari suara MC yang tiba-tiba menghentikan acara yang sedang berlangsung.
            “Mohon maaf acara terpaksa dihentikan karena keluarga SMAN 2 Purwakarta sedang berduka cita, kita doakan agar Rahma teman kita dapat diselamatkan” begitu pengumuman yang membuat seluruh warga sekolah berhenti dengan aktivitasnya, termasuk aku yang mematung tak percayadengan ini semua.
            “Sabar Cika, kita juga merasa terpukul atas kejadian ini, sekarang kita doakan Rahma baik-baik saja” Riska yang juga teman dekat Rahma menepuk pundakku dan memelukku.
            “Bagaimana kronologinya Ris?” tanyaku pada Riska.
            “Terlindas truk pasir di pertigaan” jawabnya masih menangis.
            “Maksudnya bagaimana itu terjadi?”
            “Cika tau kalau dipertigaan itu memang rawan kecelakaan? Banyak mobil besar yang lewat, dan....” suaranya terhenti karena menangis lagi.
            “Dan Rahma jatuh dari motor bersama Jeni saat belok disitu, Jeni selamat karena jatuh kepinggir jalan, sedangkan Rahma jatuh ke tengah jalan” ucapnya masih tersendat-sendat karena tangisan.
            “astaghfirullah, mengapa harus Rahma ?” ucapku berteriak dan mulai meneteskan air mataku.
            “kita kerumah sakit sekarang?” aku menjawabnya dengan anggukan.
            Saat itu aku berangkat menuju rumah sakit dengan tergesa-gesa, berharap masih bisa melihat Rahma tersenyum dan kondisinya baik. Melangkah lemas bagai tidak menginjak tanah, jiwa bagaikan kosong tanpa ruh yang menggerakan, semua otot melemas dan semuanya buram karena pandangan terbias air mata.
            “sabar yah sayang!” bu Anisa menghampiriku didepan ruang UGD.
            “Rahma baik-baik saja kan Bu? Tanyaku menangis, bu Anisa hanya diam menatapku dan Riska, kemudian memeluk kami dangan air mata yang menandakan bahwa keadaan memang buruk. Selesai memelukku dan Riska sontak bu Anisa menggelengkan kepala.
            “kita kehilangan Rahma!” jawabnya berusaha tegar.
            “nggak bu, nggak! Rahma baik-baik saja!” teriakku sambil menghambur masuk kedalam ruang UGD. Aku mematung dan nyaris kaki ku tidak bisa menopang berat tubuh saat melihat seseorang yang berbaring kaku. Aku saling menatap dengan Riska, bu Anisa memandangku kosong dari pintu kemudian mengangguk dan membenarkan bahwa Rahma memang sudah terlelap.
            Teringat semua kenangan bersamanya, semua canda, tawa, ceria dan ceritanya yang selalu mewarnai hidupku. Hari itu semuanya hilang, hilang tanpa adalagi Rahma yang ada buatku, mungkin Riska juga merasakan hal yang sama, bahkan sekitar ratusan siswa yang mengenalnya akan merasa kehilangan, kehilangan satu orang yang biasanya ikut hadir dan belajar bersama.
            Aku tidak mengerti bagaimana Rahma pergi secepat ini, seluruh keluarga dan sahabat menangisinya, teman seperjuangan ikut serta melayat tanda bela sungkawa. Dramatis bagaimana prosesi pemakaman yang dihadiri lebih dari seratus orang ini, aku berusaha kuat, menguatkan ibunya dan Anis adiknya yang masih berusia 10 tahun.
            “ibu yang sabar yah! Anis juga ngga boleh sedih, kan kakak sudah bobo cantik, pasti kakak udah bahagia dan mimpi indah” ucapku menegarkan hati.
            “tapi kakak bobonya ngga ngajak aku, aku kan takut kalau tidurnya ngga bareng kakak!” jawab Anis begitu polos, aku tidak sanggup menahan air mata lagi. Denis mendekati aku dan Anis dengan membawa syal PMR milik Rahma yang sempat dipinjamnya.
            “ini punya kakak Rahma sayang, kakak sangat baik! Adik juga harus baik seperti kakak oke?” ucapnya penuh dengan senyum dan berusaha menguatkan Anis yang masih menangis memegangi nisan kakaknya.
            “terimakasih kakak! Pasti aku jagain punya kakak dengan baik, dan aku juga ingin pake ini nanti, biar sama kaya kakak!” jawabnya sedikit tersenyum. Aku menatap Denis dengan tatapan kosong, Denis tersenyum padaku dan Anis meninggalkan kami berlari menuju ibunya yang memanggil.
            “Rahma sangat baik, aku mencintainya tapi aku belum sempat mengatakan itu” ucapnya lirih.
            “Rahma sudah tau dan mengerti, ikhlaskan! Bobo cantik Rahma sayang”.

Badan Dino “Bulat” (Antologi Dongeng Sebelum Tidur 'Penerbit Harfeey')



Badan Dino “Bulat”
            Anak itu bernama Dino, badannya yang besar membuatnya begitu menggemaskan. Anak yang periang dan ceria, baik hati dan penurut pada orang tuanya. Seringkali Dino di ejek oleh teman-temannya karena gendut.
            “Badan Dino bulat, bulat badan Dino... kalau tidak bulat, itu bukan Dino!” nyanyian itu bermaksud untek mengejeknya, tapi Dino tidak tersinggung dengan ejekan temannya, malah Dino ikut bernyanyi dengan semangatnya.
            “Badan Dino bulat, bulat badan Dino... walau Dino bulat, tapi Dino imut!” begitulah cara Dino bercanda dan membuat teman-temannya tertawa.
            Tingkah lucunya selalu membuat gelak tawa orang yang melihatnya. Anak berumur tujuh tahun ini begitu polosnya menganggap semua ejekan menjadi bahan bercandanya.
            Suatu pagi.
            Dino bangun lebih awal untuk bisa menyaksikan kartun kesayangannya di TV. Spongebob dia begitu menyukainya, bahkan Dino sering menirukan bagai mana gaya kartun kesayangannya itu. “Aku Sponge tapi aku bulat” begitu celotenya menirukan gaya bicara Sopongebob.
            Jam sudah menunjukan pukul Enam lebih tiga puluh menit. Dino segera bersiap untuk berangkat sekolah. Sampai dikelasnya Dino terus berseru riang menirukan gaya Spongebob saat bersemangat untuk bekerja di Krusty Krab.
            “Aku siap! Aku siap!” serunya berulang-ulang.
            Teman-temannya yang suka jail sudah menyiapkan jebakan untuk Dino. Sampai di tempat duduknya Dino langsung duduk tanpa curiga sehingga tawa jail teman-temannya terdengar berisik di kelas.
            “ADUH!” teriak Dino kesakitan.
            “Dino?”
“Kamu ngga apa-apa?” Dino tidak menjawab pertanyaan teman-temannya karena menahan sakit di kakinya.
“Dino berdarah!” sahut temannya yang lain.
“Kamu sih jailnya keterlaluan!” temannya yang lain menyalahkan.
“Selamat pagi anak-anak!” suara ibu guru yang masuk kedalam kelas Dino yang sedang gaduh.
“Kenapa Dino?”
“Em... anu bu” jawabannya gugup.
“Kenapa? Loh kakinya berdarah!, siapa yang melakukannya?” ucap bu guru setengah marah.
Seketika teman-teman Dino tertunduk karena dimarahi ibu guru. Lalu Dino diantarkan ibu guru untuk pulang.
Keesokan harinya.
“Maafkan aku ya Din?” Dino hanya tersenyum menjawabnya.
“jawab dong!”
“iya, Dino ngga marah kok, kaki Dino juga udah mendingan”
“Maafin kita juga yang sering ngeledek kamu!” kata temannya yang lain.
“Dino seneng kok kalo kalian bisa ketawa karena Dino!” jawabnya ringan.
“Daripada kita sedih-sedihan mending kita nyanyi!” lanjutnya lagi.
“Nyanyi apa?” tanya temannya nyaris serempak.
“Badan Dino bulat, bulat badan Dino... kalau tidak bulat, itu bukan Dino!” nyanyiannya penuh semangat sambil menepukkan kedua tangannya sesuai irama lagu. Teman-teman Dino mulai tertawa ceria lagi karena tingkah lucunya.
Hari-hari berikutnya Dino merasa lebih bahagia kerena teman-temannya terus tertawa karenanya, walaupun Dino sebenarnya jadi bahan ejekkan dan tertawaan tapi Dino senang dengan semua itu.

Begitulah cerita Dino yang selalu menjadi anak yang berbahagia karena kesabarannya dan perilakunya yang polos dan tidak mudah tersinggung. Menganggap semua hal yang menjelekannya adalah menjadi semangat untuk menghibur orang-orang yang mengenalnya. Kekurangannya bukan untuk dijadikan bahan singgungan, bahkan Dino menganggap kekurangannya adalah modal untuk membahagiakan teman-temannya.
Dino terus beranjak dewasa, tidak pernah berhenti untuk menggemari kartun kesayangannya dan itu berarti Dino juga tidak pernah berhenti untuk menirukan gaya spongebob yang selalu ceria dan bersemangat. Semua cita-citanya tergantung tinggi di atas langis yang dihiasi pelangi yang indah, Dino selalu berseru bahwa “Aku siap! Aku siap!” dalam arti siap untuk meraih cita-citanya.
Dino masih mengingat lagu kesukaanya.
“Badan Dino bulat, bulat badan Dino... kalau tidak bulat, itu bukan Dino” begitu nyanyian itu selalu teringat dalam kenangannya.
“Dino bahagia kalau teman-teman bisa tertawa bahagia karena Dino!”

ITB Bukan Hanya Tempat Bagi Si Jenius. Aku Juga Bisa Masuk ITB (Naskah Peserta AMI 2015)



            Awal kisah perjuanganku bermula saat aku berusia 10 tahun, saat itu aku menduduki kursi kelas empat sekolah dasar. Cerita ini akan diawali dengan cerita menyedihkan seorang anak yang mendapatkan hasil rapot dengan nilai rendah di dalamnya. Caci dan maki ayahku sampai sekarang masih mengiang dalam benakku. Anak tolol, bodoh, dan bego. Bagiku makian itu sangat membekas dan menjadi cambuk energi yang begitu dahsyat.
            Kesempatan berikutnya aku mencoba untuk lebih baik, berjuang dan terus belajar agar hasil rapot berikutnya tidak lagi menuai cacian seperti yang aku alami sebelumnya.
            “Walaupun kamu ayah maki bodoh, jika kamu berusaha maka makian itu akan menjadi kebalikannya” begitu kira-kira nasihat ayah padaku, saat itu aku lupa bagaimana dia bisa mengucapkan kalimat itu dengan bahasa sederhana namun begitu berarti bagiku jika aku ingat sekarang ini. Sekarang di masa aku tumbuh lebih dewasa dan akan melangkah ke arah pendidikan yang lebih tinggi. Aku ingin menjadi seorang mahasiswa ITB, walaupun sebenarnya aku pesimis karena aku bukan orang jenius yang sering diceritakan teman-teman tentang kehebatan mahasiswa ITB yang jenius itu. Walaupun aku mendapatkan rangking pertama di kelas, tapi aku tetap bukan orang jenius.
            “Ternyata anak ITB nggak sejenius yang kita kira” ucapnya terkekeh, Dodi menceritakan kisahnya tentang petualangannya di Bandung dan kebetulan harus menginap di masjid Salman ITB, dia bilang sempat bertemu beberapa mahasiswa ITB disana.
            “Maksudnya?” tanya anak-anak serempak termasuk aku yang turut antusias mendengar celotehnya, anak ini memiliki IQ lebih tinggi namun nilainya biasa saja di kelas, bahkan tidak masuk rangking 10 besar, tapi mimpinya selalu tinggi dan optimis. Semoga saja dia tidak terjatuh dari mimpinya. Kembali lagi tentang ITB sekarang.
            “Ya, mereka tidak jenius, bahkan aku bertemu seorang mahasiswa ITB yang sedang kerepotan membawa sebungkus balon di kantong polybagnya. Aku mengajarinya agar polybag itu tidak terus terseret angin” jelasnya sambil terkekeh. Baginya itu mudah saja, tinggal memasukkan batu sebagai pemberat dalam kantong maka selesai sudah kantong itu mungkin tidak harus tergeser angin lagi dan terbang. Anak-anak pun terkekeh mendengar ending ceritanya.
            “Jangan pesimis, kamu bisa masuk ITB” ucapnya menepuh bahuku, aku hanya tersenyum padanya. Anak itu memberikan motivasi dan membuatku dapat mengalahkan rasa pesimisku, aku juga bisa masuk ITB tanpa harus menjadi jenius.
            “Usaha kamu lebih banyak dari pada aku” ucapnya lagi sebelum pergi keluar kelas.
***
            Teknik Fisika, aku memimpikan itu di ITB. Seandainya aku mewujudkan mimpi itu maka hal pertama yang aku lakukan adalah bersyukur, percaya dengan nasihat ayahku dan kemudian temanku yang mengabarkan bahwa mahasiswa ITB tidak semuanya jenius karena seorang sepertiku dapat menjadi mahasiswa ITB juga, ingat aku tidak jenius.
            Yang akan aku lakukan adalah belajar dengan lebih tekun, meningkatkan kreatifitasku dan tentu saja aku berusaha menjadi jenius setelah semua proses yang aku alami. Bukankah banyak yang memimpikan ITB sebagai kampusnya, lantas mengapa aku harus mnyia-nyiakan kesempatan ketika aku sudah berhasil mewujudkan mimpi itu, aku akan melakukan hal-hal yang lebih baik yang belum aku lakukan untuk ITB.
Kemudian setelah lulus dari ITB aku akan mengepakkan sayapku, terbang dengan segala keberanian dalam ketinggian mimpi yang lebih tinggi dari sebelumnya, menghilangkan rasa takutku akan jatuh karena aku akan memiliki sayap ilmu yang akan membuatku melayang setinggi mungkin untuk meraih mimpi, padahal mimpi yang tinggi itu hanya sebuah hal yang sederhana. Aku ingin membuat sesuatu yang luar biasa untuk bangsa Indonesia, sederhana bukan? Ya B.J Habiebie yang mengajarkan aku, aku berasal dari bangsaku dan harus kembali untuk mengabdi pada bangsa dan negaraku suatu saat nanti saat aku sudah menghasilkan sesuatu, menciptakan pesawat terbang ataupun menciptakan perubahan untuk teknologi yang lebih maju lagi. Itu tugasku setelah lulus dari ITB jika aku akhirnya dapat menjadi mahasiswa ITB.
***
            Rangkaian cerita yang sederhana, mimpi indah yang tidak jauh berbeda dengan kebanyakan anak muda penerus bangsa, hanya yang ingin aku sampaikan lewat tulisanku, lewat cerita yang aku kemas sedemikian rupa dari kisah nyata yang aku berikan sentuhan sedikit fiksi di dalamnya adalah jangan terlalu pesimis seperti diriku sebelumnya, menganggap kejeniusan adalah hal yang menonjol dan menakutkan padahal orang yang belajar dengan sungguh-sungguh adalah orang jenius sebenarnya. Jangan memiliki mimpi tinggi kalau tidak pernah kamu kejar, dan yang terpenting jangan menyia-nyiakan kemampuanmu sebenarnya dan mengatakan tidak bisa, cobalah! siapa tahu dirimu adalah seorang yang jenius.
            Lebarkan sayapmu, terbanglah keangkasa dan kamu tidak perlu lagi takut akan terjatuh, jangan remehkan nasihat siapapun atau celotehan sekecil apapun, beberapa celoteh sederhana mengandung makna yang bisa dipelajari. Tapi itu hanya terkadang, jadi jangan terlalu banyak berceloteh jika tidak mencobanya segera.