Gosip
itu menyebar disemua sudut sekolah, tentu saja aku lebih dulu mengetahui
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Gosip itu memang benar adanya, lima tahun
sudah pak Rudi mengajarkan seni di sekolah yang memiliki julukan sekolah seni
ini. Dia bukan PNS dan hanyalah guru honorer, berusaha memberikan ilmu dan
idenya untuk almamaternya sendiri. Ya dia sendiri lulusan dari sekolah
berjulukan sekolah seni itu, dulu julukan itu belum seramai saat ini.
Kisah
itu jelas di ceritakannya padaku, aku adalah buah hasil dari otak seninya.
Seorang yang tidak berbakat menjadi orang dengan kualitas lebih baik lagi,
terutama dalam bidang seni.
“Ben,
gue kali ini benar-benar serius mengundurkan diri dari sekolah”
“Kenapa
begitu Beh?” aku biasanya memanggil sebutan babeh
untuk pak Rudi, itu panggilan akrabnya.
“Ayo
temenin gue keliling sekolah” ajaknya padaku, bahasanya tidak lagi mencerminkan
bahwa dirinya seorang guru. Tapi beliau sangat dekat sekali dengan muridnya.
Ruangan
itu berubah sejak lima tahun yang lalu, ruangan seni dimana semua anak berbakat
berkumpul. Melatih skill
masing-masing dengan tekun, mengembangkan seni dengan penuh kesungguhan dan
cinta. Kekeluargaan kami sangat dekat sekali, dengan babeh di tengah-tengah kami.
“Lima
tahun yang lalu ini ruangan pertama gue” ucapnya dengan penuh makna, makna
seorang yang harus segera meninggalkan hal penting dalam hidupnya. Ruangan itu
sangat nyaman baginya, sejak lima tahun yang lalu. Saat ini pak Rudi tidak lama
lagi untuk meninggalkan ruangan ternyamannya, sebuah ruangan yang penuh cinta
baginya.
Ekspresinya
tidak lagi ceria, sangat mendung mungkin perasaanya. Masuk kedalam ruangan
penuh cerita itu, anak-anak seni seperti biasa bermain di ruangan ini sepulang
sekolah. Band, Jaipong, Perkusi, Modern dance, mereka semua adalah penghuni
ruangan seni, ya ruangan yang berarti bagi pak Rudi. Aktivitas tidak terganggu
sama sekali, Indah masih melakukan tarian Jaipongnya dengan lihai. Pak Rudi
duduk dimejanya, belum lengkap jika pak Rudi duduk tanpa di temani kopi hitam
kesukaannya.
Seseorang
pergi untuk mencarikan kopi, ya semuanya sangat paham dengan kebiasaan babeh.
Sahabat
pak Rudi yaitu bu Santi yang juga menjadi back ground atas kesuksesan meraih
julukan sekolah seni. Gosip yang sama ternyata mengaitkan bu Santi juga, ya
mereka berdua akan keluar dari sekolah. Ruangan ini tidak akan lagi memiliki
pengurus seperti mereka berdua yang amat mencintai seni, senyaman di dalam
ruangan ini mungkin tidak akan seperti ini jika tanpa di bumbui dengan rasa cinta
mereka dengan kesenian.
Sedikit
menyentuh kami yang menyaksikan kemendungan dari balik mimik wajah mereka.
Mendung menggalau yang biasanya hanya dilakukan pak Rudi dalam adegan teater
dengan cerita yang menyayat hati.
“Ben!
Ikut gue lagi” ajak pak Rudi padaku, aku menurut saja tanpa banyak pertanyaan.
Mungkin jika aku banyak bertanya akan lebih membuat babeh bersedih.
Halaman
belakang sekolah, tempat yang paling tidak pernah di pertimbangkan
keindahannya. Dekorasi yang tidak di perhatikan membuat halaman belakang sangat
tidak enak di pandang.
“Tempat
ini indah pada malam hari”
“Iya
Beh”
“Cocok
untuk tempat melakukan pertunjukan musik akustik”
Aku
mengangguk, membayangkan bagaimana pak Rudi dapat amat sangat mengerti tentang
keindahan seni. Tak akan ada yang terfikirkan tentang hal seperti yang di
fikirkan pak Rudi. Halaman belakang itu memang sangat damai, dengan dibubuhi
dekorasi lampu dan susunan kursi penonton yang tertata rapi kemudian di
suguhkan dengan alunan musik akustik yang sangat indah sekali.
“Berapa
penonton kira-kira?” tanyaku, menanyakan hal yang mungkin saja mencairkan
suasana.
“Seratus
sampai dua ratus orang”
Aku
mendongakan kepalaku, menahan air mata yang nyaris jatuh di pipiku. Teringat
bagaimana dulu pak Rudi sangat antusias membantu acara festival ulang tahun
sekolah, semua ide dan sarannya menjadikan acara sangat sukses dan berjalan
lancar. Sekolah seni itu menurutnya akan terlihat sangat indah pada malam hari.
“Setelah
ini Babeh mau kerja dimana?”
“Mau
nyoba bekerja di pabrik”
“Nggak
akan jadi Dosen di Bandung?” tanyaku lagi penasaran.
“Gue
nggak mau lagi ngajar selain di sini Ben!” ucapan itu terdengar sangat
menyakitkan, begitu cintanya pak Rudi pada sekolah yang pernah menjadi
almamaternya. Membangun sekolah dengan kecintaannya pada seni, dan beliau
mencintai almamaternya.
Keliling
sekolah yang mungkin untuk terakhir kalinya bagi pak Rudi, bu Wiwit yang
merupakan wakil kepala sekolah memanggil pak Rudi. Aku mengerti bahwa ini waktu
untuk sebuah perpisahan.
“Nggak
kerasa gue udah setua ini” ucapnya sambil berjalan menuju ruangan wakil kepala
sekolah. Aku hanya mendengarkan saja.
“Udah
lima tahun gue disini, dan sekarang kalian yang harus menjaga hasil perjuangan
gue” itu mungkin pesan yang harus aku sampaikan kepada anak seni lainnya. Aku
mengangguk tanda mengerti maksudnya, dengan berat hati aku meninggalkan pak
Rudi. Kembali menuju ruang seni.
Tiga
puluh menit kemudian ternyata pak Rudi masih menyempatkan untuk mengunjungi
ruang seni, mungkin untuk berpamitan.
“Gue
pamit sama kalian” ucapnya dengan nada berat, ber-akting seperti seorang yang
tanpa beban, namun kali ini pak Rudi tidak lagi handal dalam memainkan peran
karakternya. Adegan ceria itu sangatlah buruk terlihat, mata pak Rudi jelas
tidak bermain.
Semuanya
berhamburan memeluk pak Rudi, mengucapkan kalimat perpisahan.
“Jaga
ruangan ini, cintailah seni dari hati kalian” itu nasehat yang sangat baik
sekali, kami akan mengingatnya selalu.
Pak
Rudi benar-benar otak seni dari balik julukan sekolah seni yang dimiliki
sekolahku. Lima tahun yang lalu di rintis beliau, saat ini kami harus menjaga
julukan itu. sebagai tanda terimakasih kami selama ini, ya kami akan mencintai
seni seutuhnya dari hati.
“Terimakasih
untuk inspirasinya”
Seperti yang di
kisahkan oleh Rizal kepada penulis. Cerpen ini di persembahkan sebagai tanda
perpisahan dengan pak Anggi, guru kesenianku.