Selasa, 26 Agustus 2014

Embun


Namaku Embun!
Ingat aku?
Iyah, aku yang selalu basah
di pagi hari
Aku yang selalu sejuk
di malam hari

Apa, kau tak kenal aku?

AH! Padahal aku sering kau lihat
Di kacamatamu, cermin, jendela
Aku ada disitu!

Kau tak ingat?

Memang aku hanya EMBUN
Ya, pantas dilupakan.

Tentang Hatiku, Bukan Cintamu


“Aku ingin menceritakan sesuatu padamu”. Ucapnya dengan penuh kegirangan, aku hanya menjawabnya dengan mengangguk. “Apa yang ingin kau ceritakan?”.
Saat itu ruang kelas sudah sepi, tinggal beberapa orang dengan kapasitas kerajinan lebih besar dari siswa lainnya yang tersisa di dalam kelas ataupun berkeliaran di lingkungan sekolah dengan jumlah yang tidak begitu banyak.
Aku sebenarnya sudah mau pulang, aku bukan termasuk siswa yang tergolong kapasitas kerajinannya besar, aku lebih tergolong siswa yang malas. Sampai akhirnya seseorang mencegatku dan membuat aku terjebak dengan ocehannya. Jeje namanya, gadis itu sahabatku.
“Menurutmu bagaimana rasanya jatuh cinta?” itu lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan, bukan sebuah cerita.
“Menurutku itu bukan sebuah cerita yang ingin kau ceritakan” Jeje mendengus kesal padaku. “Jawab dulu pertanyaanku!”.
Itu terasa seperti saat aku berdekatan denganmu. “Mungkin kau akan sering berharap untuk bertemu orang yang membuatmu jatuh cinta!” Jeje tersenyum riang mendengar jawabanku.
“Aku merasakan hal itu” sedikit terasa sesak di dadaku muncul mendengar jawabannya. “Lalu?”.
“Bagaimana pendapatmu?” aku semakin gugup dibuatnya, bagaimana tidak jika seseorang yang kau cintai menanyakan hal semacam ini padamu, itulah yang aku rasakan saat ini. aku selalu menyembunyikan perasaanku padanya, aku tidak bisa menjelaskan padanya bahwa aku mencintainya. Jeje sahabatku sejak balita, kita sudah terlalu lama bersahabat.
“Kau berhak memperjuangkannya” jawabku dengan berusaha bijak untuk menyembunyikan rasa kecewaku. Mengapa jika aku mencintaimu, aku tidak mampu memperjuangkannya? Bahkan aku belum mencobanya. Aku tertegun sejenak sesaat sebelum Jeje mencubit pinggangku dengan kerasnya. “Aduh!”.
“Lihat! Itu orangnya” ucapnya sambil menunjuk kearah seseorang yang melintas di depan kelas tempat dia mengoceh. Seseorang dengan ransel hitam yang sepertinya berbobot begitu berat, dia lebih tinggi dariku, dan aku mengakui bahwa dia lebih tampan dariku. Pantas Jeje jatuh cinta padanya, bukan padaku.
“Dia mengajakku lari pagi besok, kau mau ikut?”.
“Jika kau mengajakku, apa aku tidak akan mengganggu kencan kalian?” sepertinya aku ragu untuk menyaksikan mereka berkencan.
Bagaimana dengan hatiku?.
“Kau sahabatku, aku belum mengenal jauh laki-laki itu, jika dia macam-macam maka ada kau”. Aku mengangguk saja menyetujui permintaan gadis itu, aku memang terbiasa mengikutinya kemana dia akan pergi, orang tuanya selalu berharap aku bisa menjaganya, dan orang tuaku selalu memintaku untuk melakukannya.
***
“Apa kau kurang tidur?”.
“Aku hanya gugup saja ketika harus menjadi body guard kencan sahabat termanisku” jawabku sabil menarik hidungnya yang mancung.
“Kau ini!” dia membalasku dengan mencubit pinggangku, itu senjata andalannya.
Lokasi ini memang menjadi tempat pavorit untuk melakukan lari pagi, terutama pada hari libur tiba. Tempat ini begitu rindang oleh pohon-pohon besar yang tertata seperi mengelilingi sebuah situ yang berbentuk bulat. Selalu sejuk saat pagi hari, teduh saat siang hari dan begitu nyaman nan indah saat sore hari, dulu aku dan Jeje rutin bermain disini, saat masih anak-anak.
Seseorang datang menghampiri kearah ku dan Jeje yang sedang melakukan peregangan dibawah salah satu  pohon yang rindang, seseorang yang aku lihat kemarin saat Jeje berceloteh sebelum pulang sekolah.
“Kenalin ini Rian sahabatku yang kemarin aku ceritakan!” celotehnya mengenalkanku, aku hanya senyum-senyum garing saja menanggapinya.
“Rian! Kau boleh memanggilku Ian saja” dia mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Denis!” begitu singkat ucapannya, bahkan jika aku bandingkan kata yang keluar darinya dengan frekuensi kata yang keluar dari celotehan Jeje itu rasanya berbeda jauh. Bahkan lebih singkat dari kata yang aku keluarkan.
“Kau yakin jatuh cinta dengan orang ini?” bisikku kepada Jeje dengan sangat pelan supaya tidak terdengar oleh Denis.
“Menurut tanda yang kau sebutkan sepertinya aku serius” jawabnya dengan bisikan yang terdengar mantap. Aku berharap Jeje tidak akan merasa cocok dengannya, laki-laki yang berdarah dingin. Aku tidak bermaksud mendoakan yang buruk untuk sahabatku, tapi entah mengapa doa itu ingin sekali aku panjatkan, dan rasa sesak di dada selalu memaksaku untuk lebih ekstra lagi menahan sakitnya.
Rencana awalku adalah menjaga Jeje sesuai yang diinginkannya, tapi ternyata aku tidak terlalu bekerja untuk menjaganya, mereka berdua lari berdampingan sambil sesekali tertawa bahagia. Menurutku Denis tidak macam-macam, mereka terlihat dekat sekali, begitu dekat. Bahkan baru kali ini Jeje tidak memperdulikanku, dia bercanda begitu dekat hanya denganku. Dan sekarang Denis menggantikan segalanya.
***
“Kau lelah?” tanya Jeje padaku yang sudah terlihat sempoyongan karena lelah, lebih tepatnya karena tenagaku habis untuk menahan sesak di dada.
“Sepertinya aku hanya butuh istirahat, kalian lanjutkan saja lari paginya, aku menunggu disini” jawabku untuk menghindari pandangan melihat mereka lagi. Setidaknya ini lebih baik.
“Kau yakin?” aku mengangguk mantap.
Mungkinkah aku akan memiliki keberanian yang cukup untuk menyatakan isi hatiku pada sahabat sendiri, apakah aku memiliki keyakinan bahwa ini perasaan jatuh cinta? Tapi menurut jawabanku kemarin lusa pada Jeje itu terlihat bahwa memang aku jatuh cinta padanya. Apa mungkin aku hanya akan terdiam  disini dan kemudian mati penasaran karena tidak memiliki keberanian untuk mengatakan isi hatiku padanya seumur hidup.
Segelas air mineral langsung mengalir membasahi kerongkonganku, jiwa yang semula panas menjadi sedikit rileks dibuatnya, aku menghela nafas panjang untuk melakukan sebuah penetrasi untuk mengurangi atau bahkan membuang rasa sesak yang aku redam secara paksa.
Terlintas di kepalaku bagaimana seharusnya seorang gadis memiliki sebuah perasaan yang lebih peka, tapi Jeje sama sekali tidak mengerti tentang perasaan yang aku sembunyikan. Kisah persahabatan yang begitu manis aku lalui bersamanya, sebuah kisah yang menurutku sudah cukup untuk menjadi sebuah kebahagiaan, aku selalu bersamanya dan selalu menemaninya, aku sahabat terdekatnya.
Hanya saja rasa berkecukupanku berubah menjadi cemburu dan iri pada seseorang yang sebenarnya baru dikenal Jeje dua bulan yang lalu, sedangkan aku sudah sejak 16 tahun yang lalu. Mereka begitu dekat hanya dalam kurun waktu dua bulan, dan aku hanya diam menjadi sahabat dengan perasaan tersembunyinya selama 16 tahun.
“Hei!” teriakan itu membuyarkan meditasiku, jantungku bedegup cepat karena kaget.
“Beruntung aku tidak terkena serangan jantung!” aku mendengus kesal dan sambil menarik nafas panjang untuk penetrasi agar degup jantungku kembali normal.
“Itu bukan karena salahku, tapi karena lemakmu ini” jawabnya meledekku sambil menunjuk berutku yang memang tergolong buncit.
“Dimana Denis?” tanyaku penasaran saat menyadari bahwa Denis tidak bersamanya.
“Dia terkena masalah dengan gadisnya” terlihat raut wajah Jeje seketika berubah menjadi begitu mengekspresikan sebuah kekecewaan.
“Pacarnya?” tanyaku hati-hati, Jeje seketika langsung memelukku dan terlihat seperti menahan sebuah tangisan. Aku mengerti bahwa sesuatu telah terjadi padanya, bukan saatnya aku untuk bertanya dimana letak masalahnya sekarang. Ini salahku karena aku tidak bertugas dengan baik untuk menjaganya, aku gagal menjaga perasaannya.
“Baiklah, kita pulang sekarang sebelum aku dituduh satpol PP telah melakukan sesuatu yang membahayakanmu” dan untuk kesekian kalinya cubitan itu mendarat lagi di pinggangku.
Jeje menggenggam tanganku erat, menggandengku tampak seperti ingin selalu mendekapku, ini membuatku semakin sesak menahan rasa yang aku sembunyikan. Tapi jika ini membuatnya nyaman maka aku tidak keberatan menahan sesak ini lebih lama.
***
Memar di ujung bibirku terasa begitu perih saat ibu me-ngompresku, sesekali mengomel untuk menasehatiku, ibu mana yang tidak mengomel mengetahui anaknya berkelahi dengan teman-temannya.
“Lain kali jangan berkelahi lagi!” ucap ibuku dengan nada marahnya, atau mungkin nada itu sebagai ekspresi ke khawatirannya.
“Mereka mengganggu Jeje sampai menangis” jawabku membela.
“Kamu tidak harus berkelahi dengan mereka!” sentak ibuku karena aku membela omongannya.
“Jeje memangis” jawabku sedikit takut.
“Dan kamu akhirnya terluka?” seru ibuku lagi dengan marahnya yang sedikit berkurang.
“Aku hanya ingin menjaganya, ma!” ibuku hanya tersenyum mendengar jawaban terakhirku.
“Bukan begitu cara menjaga seorang gadis, sayang!” tangannya tetap me-ngompresku dengan begitu hati-hati, luka ku mulai tidak terasa sakit lagi.
“Kamu hanya perlu menjaga perasaannya saja” kalimat terakhir itu menjadi penutup nasehatnya padaku.
Usiaku yang masih anak-anak belum mengerti maksud nasehat ibuku, yang aku tahu ibu hanya menyuruhku mengajak pulang Jeje kalau misalkan ada yang menganggunya lagi. Aku mengartikan bahwa nasehat itu berarti aku tidak boleh berkelahi lagi, hanya itu yang aku mengerti.
“Terimakasih selalu menjadi sahabatku!” matanya yang membulat menatapku dengan penuh kepolosannya, usia kami baru 10 tahun dan kami sudah mengerti arti sebuah persahabatan.
Aku mengalihkan pandanganku mengarah ke sekeliling taman tempat aku dan Jeje biasa bermain. Taman ini berisi beberapa tempat bermain anak dan banyak sekali bunga-bunga hiasan yang begitu indah menjadi sebuah pemandangan. Aku terdiam sejenak menatap sebuah objek permainan anak yang menarik perhatianku.
“Ayo kita bermain disana” usulku membuyarkan keheningan yang terjadi sekitar satu menit yang lalu.
“Papan jungkat-jungkit?” aku hanya mengangguk menyetujui.
“Aku sudah besar Ian!” jawabnya sedikit mendengus.
“Itu terlihat menyenangkan” aku tidak memperdulikan Jeje yang masih tetap duduk di kursi taman, aku segera berlarian menuju papan jungkat-jungkit yang menarik perhatianku.
“Hei! Kau meninggalkan aku?” teriakan Jeje terdengar dari kejauhan.
***
“Apa kau pernah berfikir bahwa suatu saat aku mungkin jatuh cinta padamu?” kalimat itu meluncur begitu saja tanpaku sadari, lebih tepatnya aku mungkin sedang berada di alam bawah sadarku, karena dalam kesadaranku bagaimana mungkin aku akan berani mengucapkan hal ini.
“Maksudmu?” jawabnya terlihat sedikit terkejut dengan kalimat yang aku lontarkan.
“Tidak, aku tidak sengaja mengatakan itu, lupakan saja” aku segera kembali ke alam sadarku dan menyadari bahwa kalimat sebelumnya harus di tarik kembali sebelum persahabatan ini akan berakhir hanya karena sebuah cinta yang memang bukan untukku.
“Apa kau pernah berfikir bahwa aku selalu ingin bertemu denganmu?” kali ini Jeje berbicara terlihat seperti orang yang sedang melantur
“Maksudmu?” aku mengikuti gaya bicara Jeje saat terkaget mendengar ucapanku.
“Menurutmu itu menjadi pertanda bahwa aku jatuh cinta padamu?” aku semakin kikuk mendengar ucapannya.
“Entahlah aku tidak terlalu memahami soal cinta”.
“Bukankah kau pernah mengatakan hal itu seminggu yang lalu?” Jeje terlihat seperti semakin mendesakku.
“Aku tidak pernah mengatakan kelemahanku yang tidak memahami cinta” jawabku sedikit menerka-nerka maksud dari pertanyaan Jeje.
“Mungkin kau akan sering berharap untuk bertemu orang yang membuatmu jatuh cinta!” dia menarik nafasnya untuk memberikan jeda kalimatnya.
“Apa kau ingat dengan hal itu?” desaknya lagi padaku, aku hanya terdiam mendengarkan semua kalimatnya tanpa menjawab. Aku sudah tidak bisa memberikan jawaban apapun untuknya.
“Apa kau sudah selesai?” tanyaku pada Jeje yang sekarang lebih memilih menunduk untuk menyembunyikan rasa kecewanya karena aku tidak memberikan tanggapan.
“Ini bukan soal tentang apakah kau memang jatuh cinta atau tidak, aku hanya akan menjelaskan isi hatiku selama ini, isi hati yang selalu aku tahan untuk tidak aku sampaikan padamu” aku menjeda kalimatku.
“Tapi hari ini kau mendesakku dengan begitu paksanya untuk membuatku lebih merasakan sesak lagi, dan aku tidak dapat lagi menahan isi hatiku”.
“Maaf” ucapnya lirih memotong kalimatku.
“Aku jatuh cinta padamu, bukan hanya karena aku sering ingin berada di dekatmu, tapi ini memang isi hatiku sejak dulu. Aku merasakan perih yang amat terasa begitu menyakitkan ketika ada seseorang yang menganggumu, itu termasuk ketika seorang Denis yang membuatmu jatuh cinta dan akhirnya kau menangis” aku menjeda kalimatku.
“Kau tidak pernah mengerti isi hatiku sejak dulu, aku hanya menikmati perih dan sesak saat menerima kenyataan bahwa aku harus melihatmu menangis karena orang lain menganggumu. Tapi kau lebih memilih jatuh cinta untuk pertama kalinya pada orang lain, bukan padaku?” aku menghela nafas panjang setelah menyelesaikan kalimatku. Jeje hanya terdiam memperhatikanku.
“Aku jatuh cinta padamu!” ucapku lirih berbisik di telinga Jeje.
“Kau yakin dengan semuanya?”.
“Awalnya aku tidak yakin, tapi jika aku jatuh cinta inilah hakku untuk memperjuangkannya” jawabku dengan begitu mantap.
Jeje memelukku begitu erat, aku mengusap punggungnya dalam pelukan. Ini mungkin yang dinamakan sahabat jadi cinta, aku tidak terlalu memperdulikan masalah sahabat jadi cinta atau apalah itu namanya. Yang terpenting aku sudah mengatakan isi hatiku.
“Aku juga jatuh cinta padamu! Terimakasih telah menjadi sahabatku selama ini”.

Ibu Tua Penjual Gorengan


Sekeranjang gorengan yang biasa aku bawa ke kampus untuk di jajahkan kepada teman-teman di kampus yang biasa kelaparan saat siang hari karena jam istirahat yang tidak memungkinkan untuk mencari makan di luar. Sedangkan di lingkungan kampus tidak ada penjual makanan apapun.
“Bro! gorengannya ngambil dimana?” ucap seorang mahasiswa yang menjadi pelangganku.
“Ibu kost gue bisnis gorengan, gue ikut bantuin”
“Kreatif juga lo, tapi kalau gue sih malu jualan kaya beginian” mahasiswa yang menurutku adalah anak orang kaya itu terkekeh meledekku. Aku sudah terbiasa menerima ledekan para pelangganku, biasanya aku hanya membalasnya dalam hati.
“Kalau gue kaga jualan mereka juga yang kelaparan” jawabku dalam hati, sambil memberikan senyum keramahanku sebagai penjual. Bukankah pembeli adalah raja.
Sebelum kejadian satu tahun yang lalu aku tidak pernah terfikirkan untuk berdagang gorengan di kampus, orang tuaku sama sekali jauh dari garis kemiskinan atau bisa dikatakan bahwa aku sangat berkecukupan.
Setahun yang lalu aku mengenal seorang penjual gorengan, ibu tua yang sudah sangat renta. Setiap pagi aku selalu melihatnya di depan gerbang masuk kampusku, itu rutin selama setahun kebelakang. Sampai suatu waktu di kampusku menjadi ramai dengan berita yang sedikit tidak aku percaya.
“Ibu tukang gorengan itu dagangannya beracun!” teriak seorang mahasiswi senior bernama Luna yang menjadi bintang kampus. Aku tak mengerti mengapa dia bilang bahwa gorengan si ibu tua langgananku beracun, yang aku tahu gorengan ibu tua itu sangat enak. Aku pelanggan setianya.
Tanpa fikir panjang para mahasiswa yang selalu mengidolakan sang bintang kampus ikut membela dan beramai-ramai mengusir si ibu tua. Aku berusaha membela tapi aku tidak memiliki masa untuk membela, aku hanya sendiri membela si ibu tua.
“Ibu ini gorengannya enak, gue suka gorengannya!” belaku saat puluhan mahasiswa lainnya merampas jualan si ibu tua dan mengusirnya.
“Nggak apa-apa nak, ibu tidak akan berjualan lagi” itu kalimat yang mengiang di telingaku sampai sekarang, terlalu tega mereka anak-anak orang kaya yang berlebihan. Tidak berfikir bagaimana jika ibu tua itu tidak berjualan lagi di depan gerbang kampus.
Sebulan berlalu sejak ibu tua penjual gorengan itu di usir dari kampusku, sudah puluhan pedagang meracuni warga kampus. Ada yang menjual cendol dengan pewarna pakaian dan boraks, menjual gorengan dengan tepung yang diambil dari sisa ceceran di pasar dan ada yang menggunakan toge busuk untuk isi gorengan tahu yang mereka jual.
Puluhan pedagang itu di usir oleh pihak kampus karena terbukti menambahkan bahan berbahaya dalam jajanannya. Seminggu setelah pengusiran puluhan pedagang curang itu membuat pihak kampus memutuskan agar tidak mengizinkan para pedagang untuk berjualan di sekitar kampus.
Kelaparanpun melanda para warga kampus.
“Pak, kalau pedagang dilarang berjualan kita kelaparan!” protesku pada salah satu dosen.
“Ini sudah kebijakan yayasan, lagi pula masih ada kantin yang tersedia” tukasnya menjawab protesku.
“Kantin hanya ada satu, itupun tidak mungkin semua bisa kebagian waktu untuk mengantri” protesku lagi.
“Ini keputusan yayasan”
“Ada seorang penjual gorengan yang saya kenal, jualannya bersih dan sempat berjualan di kampus ini selama saya sekolah disini”
“Ibu Siti yang kalian usir tempo hari?”
“Aku tidak ikut mengusirnya!” tukasku menjelaskan.
“Beliau meninggal pada hari itu juga, saat pulang dari kampus beliau mencari tempat berjualan baru. Hanya saja tubuhnya yang renta tidak mampu melawan preman pasar yang merampasnya” jelas pak Bowo dengan panjang lebar, aku sedikit menyesal karena saat itu aku yang satu-satunya bisa membela ibu Siti yang baru saja aku ketahui namanya dari pak Bowo.
“Inalillahi”
Sejak saat itu aku mulai berfikir bagaimana jalan keluar untuk mengatasi masalah kelaparan di kampusku, seandainya saja ibu Siti masih berjualan mungkin aku tidak akan pernah membawa keranjang gorengan setiap pagi.
Aku menjual gorengan sampai aku akhirnya lulus, kemudian karena aku sudah lulus maka bisnis berjualan di kampus menjadi turun temurun kepada anak-anak rajin di angkatan berikutnya. Seandainya tidak ada yang menggantikanku maka tragedi kelaparan itu akan terulang kembali.
Kebiasaanku tetap berlanjut sampai pada masa kerjaku, teman-teman kantor menjadi lebih berhemat untuk uang makan karena aku menjual gorengan dengan harga terjangkau. Aku tidak pernah melupakan ibu tua penjual gorengan yang menjadi langgananku di kampus. Mungkin sederhana yang dilakukannya, tapi ketika ibu tua itu pergi membuat kehidupan kampus dan kehidupanku berubah.

Sebuah Kehormatan

       Kaleng bekas itu berbunyi gaduh saat aku mencoba melampiaskan amarahku kepadanya. "Kenapa dia begitu bodoh!" teriaku dengan geram. mengingat tentang bagian cerita yang juga ikut menyayat perasaanku, bukan karena aku sok peduli, hanya saja aku sangat peduli kepadanya. "Seandainya aku diberikan kesempaatan, mungkin aku tidak akan membuatnya terluka seperti sekarang" gumamku kepada diri sendiri. Buktinya gadis cantik itu harus menangis saat ini, aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuatnya bisa kembali tersenyum. kata orang aku ini laki-laki pengecut, pantas saja Shela tak memilihku. "Aku seharusnya melindungi orang yang aku sayang, sekarang apa yang bisa aku lakukan saat dia sudah kehilangan kehormatannya. bukankah laki-laki sejati harusnya bisa menjaga kehormatan wanita?" gerutuku lagi dalam hati, dibumbui dengan rasa penyesalan dan perasaan bersalah.
***
       Sore itu aku tak berdaya untuk memaksakan keinginan hatiku, laki-laki yang katanya lebih tampan dariku sudah lebih dulu menyatakan isi hatinya. aku tak berani memperjuangkan hatiku untuk mendapatkan haknya dan hanya untuk sekedar mengungkapkannya. yang aku lakukan hanyalah berusaha menerima keadaan, aku merasa bahagia melihatnya tersenyum. tidak terfikir bahwa aku seharusnya berusaha.
"Aku sebenarnya mencintai kamu sejak dulu!" ucapnya sambil terisak. aku berusaha tegar mendengarkan apa yang ingin dia ungkapkan, polisi memberikan waktu sepuluh menit untuk Shela berbicara padaku.
"Mengapa kau melakukan hal ini?" jawabku sedikit emosi, aku menahannya agar tidak benar-benar emosi.
"Aku di paksa, dia bilang jika aku tidak melakukannya berarti aku tidak sayang padanya!" jawabnya parau, terdengar nada penyesalah dari mimik wajah gadis cantik yang dulu pernah aku cintai. sampai saat ini pun aku masih.
 "Lalu kau melakukannya demi cinta?" cela ku lagi. aku mulai emosi karena api yang mungkin membuatku teringat akan setahun yang lalu, saat aku fikir laki-laki tampan itu bisa membuatnya bahagia.
" Aku mencintaimu, tapi aku tak kuasa menahan sifat biologisku" belamya lagi, gadis cantik yang berbicara denganku bukanlah korban pelecehan seksual, tapi tersangka pidana akibat sebuah dokumentasi pribadi yang tersebar dan didalamnya menayangkan bahwa gadis itu menjadi pemeran utamanya.
"Ayo saudari Shela untuk segera masuk kedalam sel" tegas suara seorang polisi berbadan tegap.
"Aku mencintai kamu!" ucapnya lirih, matanya polos, tapi kehormatannya sudah tercemar. apa aku harus menerimanya dalam kondisi seperti itu. aku kikuk tak menjawab, berkecimpung dalam imajinasiku, membayangkan bagaimana dengan kondisi perasaanku sebenarnya. ini juga salahku yang tidak dapat menjaganya.
***
     "Kau seharusnya mengangkat kembali kehormatannya" bisik suara hatiku. emosiku memudar saat terbayang dalam imajinasiku tentang manisnya senyuman Shela. Aku masih menyayanginya, terlampau dari kata itu aku ingin sekali membahagiakannya. mimpiku satu tahun silam untuk menytakan cinta belum terwujud, dan saat ini Shela mengakui bahwa dirinya mencintaiku, apakah karena gadis itu memanfaatkan aku atau mungkin itu tulus dari hatinya. aku tak bisa menuduhnya, terlepas dari perbuatan Shela, aku seharusnya bertanggung jawab untuk menjaga Shela. tapi aku sendiri yang gagal, maka memang seharusnya akulah yang harus mengembalikan kehormatannya. "Aku akan menebus kesalahanku" gumamku sambil memungut kaleng bekas yang sudah berbentuk aneh, aku memvbuangnya ke tempat sampah