“Aku
ingin menceritakan sesuatu padamu”. Ucapnya dengan penuh kegirangan, aku hanya
menjawabnya dengan mengangguk. “Apa yang ingin kau ceritakan?”.
Saat
itu ruang kelas sudah sepi, tinggal beberapa orang dengan kapasitas kerajinan
lebih besar dari siswa lainnya yang tersisa di dalam kelas ataupun berkeliaran
di lingkungan sekolah dengan jumlah yang tidak begitu banyak.
Aku
sebenarnya sudah mau pulang, aku bukan termasuk siswa yang tergolong kapasitas
kerajinannya besar, aku lebih tergolong siswa yang malas. Sampai akhirnya
seseorang mencegatku dan membuat aku terjebak dengan ocehannya. Jeje namanya,
gadis itu sahabatku.
“Menurutmu
bagaimana rasanya jatuh cinta?” itu lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan,
bukan sebuah cerita.
“Menurutku
itu bukan sebuah cerita yang ingin kau ceritakan” Jeje mendengus kesal padaku.
“Jawab dulu pertanyaanku!”.
Itu terasa seperti saat
aku berdekatan denganmu. “Mungkin kau akan sering berharap
untuk bertemu orang yang membuatmu jatuh cinta!” Jeje tersenyum riang mendengar
jawabanku.
“Aku
merasakan hal itu” sedikit terasa sesak di dadaku muncul mendengar jawabannya.
“Lalu?”.
“Bagaimana
pendapatmu?” aku semakin gugup dibuatnya, bagaimana tidak jika seseorang yang
kau cintai menanyakan hal semacam ini padamu, itulah yang aku rasakan saat ini.
aku selalu menyembunyikan perasaanku padanya, aku tidak bisa menjelaskan
padanya bahwa aku mencintainya. Jeje sahabatku sejak balita, kita sudah terlalu
lama bersahabat.
“Kau
berhak memperjuangkannya” jawabku dengan berusaha bijak untuk menyembunyikan
rasa kecewaku. Mengapa jika aku
mencintaimu, aku tidak mampu memperjuangkannya? Bahkan aku belum mencobanya.
Aku tertegun sejenak sesaat sebelum Jeje mencubit pinggangku dengan kerasnya.
“Aduh!”.
“Lihat!
Itu orangnya” ucapnya sambil menunjuk kearah seseorang yang melintas di depan
kelas tempat dia mengoceh. Seseorang dengan ransel hitam yang sepertinya
berbobot begitu berat, dia lebih tinggi dariku, dan aku mengakui bahwa dia
lebih tampan dariku. Pantas Jeje jatuh
cinta padanya, bukan padaku.
“Dia
mengajakku lari pagi besok, kau mau ikut?”.
“Jika
kau mengajakku, apa aku tidak akan mengganggu kencan kalian?” sepertinya aku
ragu untuk menyaksikan mereka berkencan.
Bagaimana
dengan hatiku?.
“Kau
sahabatku, aku belum mengenal jauh laki-laki itu, jika dia macam-macam maka ada
kau”. Aku mengangguk saja menyetujui permintaan gadis itu, aku memang terbiasa
mengikutinya kemana dia akan pergi, orang tuanya selalu berharap aku bisa
menjaganya, dan orang tuaku selalu memintaku untuk melakukannya.
***
“Apa
kau kurang tidur?”.
“Aku
hanya gugup saja ketika harus menjadi body
guard kencan sahabat termanisku” jawabku sabil menarik hidungnya yang
mancung.
“Kau
ini!” dia membalasku dengan mencubit pinggangku, itu senjata andalannya.
Lokasi
ini memang menjadi tempat pavorit untuk melakukan lari pagi, terutama pada hari
libur tiba. Tempat ini begitu rindang oleh pohon-pohon besar yang tertata
seperi mengelilingi sebuah situ yang berbentuk bulat. Selalu sejuk saat pagi
hari, teduh saat siang hari dan begitu nyaman nan indah saat sore hari, dulu
aku dan Jeje rutin bermain disini, saat masih anak-anak.
Seseorang
datang menghampiri kearah ku dan Jeje yang sedang melakukan peregangan dibawah
salah satu pohon yang rindang, seseorang
yang aku lihat kemarin saat Jeje berceloteh sebelum pulang sekolah.
“Kenalin
ini Rian sahabatku yang kemarin aku ceritakan!” celotehnya mengenalkanku, aku
hanya senyum-senyum garing saja menanggapinya.
“Rian!
Kau boleh memanggilku Ian saja” dia mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk
bersalaman.
“Denis!”
begitu singkat ucapannya, bahkan jika aku bandingkan kata yang keluar darinya
dengan frekuensi kata yang keluar dari celotehan Jeje itu rasanya berbeda jauh.
Bahkan lebih singkat dari kata yang aku keluarkan.
“Kau
yakin jatuh cinta dengan orang ini?” bisikku kepada Jeje dengan sangat pelan
supaya tidak terdengar oleh Denis.
“Menurut
tanda yang kau sebutkan sepertinya aku serius” jawabnya dengan bisikan yang
terdengar mantap. Aku berharap Jeje tidak
akan merasa cocok dengannya, laki-laki yang berdarah dingin. Aku tidak
bermaksud mendoakan yang buruk untuk sahabatku, tapi entah mengapa doa itu
ingin sekali aku panjatkan, dan rasa sesak di dada selalu memaksaku untuk lebih
ekstra lagi menahan sakitnya.
Rencana
awalku adalah menjaga Jeje sesuai yang diinginkannya, tapi ternyata aku tidak
terlalu bekerja untuk menjaganya, mereka berdua lari berdampingan sambil
sesekali tertawa bahagia. Menurutku Denis tidak macam-macam, mereka terlihat
dekat sekali, begitu dekat. Bahkan baru kali ini Jeje tidak memperdulikanku,
dia bercanda begitu dekat hanya denganku. Dan sekarang Denis menggantikan
segalanya.
***
“Kau
lelah?” tanya Jeje padaku yang sudah terlihat sempoyongan karena lelah, lebih
tepatnya karena tenagaku habis untuk menahan sesak di dada.
“Sepertinya
aku hanya butuh istirahat, kalian lanjutkan saja lari paginya, aku menunggu
disini” jawabku untuk menghindari pandangan melihat mereka lagi. Setidaknya ini
lebih baik.
“Kau
yakin?” aku mengangguk mantap.
Mungkinkah
aku akan memiliki keberanian yang cukup untuk menyatakan isi hatiku pada
sahabat sendiri, apakah aku memiliki keyakinan bahwa ini perasaan jatuh cinta?
Tapi menurut jawabanku kemarin lusa pada Jeje itu terlihat bahwa memang aku
jatuh cinta padanya. Apa mungkin aku hanya akan terdiam disini dan kemudian mati penasaran karena
tidak memiliki keberanian untuk mengatakan isi hatiku padanya seumur hidup.
Segelas
air mineral langsung mengalir membasahi kerongkonganku, jiwa yang semula panas
menjadi sedikit rileks dibuatnya, aku menghela nafas panjang untuk melakukan
sebuah penetrasi untuk mengurangi atau bahkan membuang rasa sesak yang aku
redam secara paksa.
Terlintas
di kepalaku bagaimana seharusnya seorang gadis memiliki sebuah perasaan yang
lebih peka, tapi Jeje sama sekali tidak mengerti tentang perasaan yang aku
sembunyikan. Kisah persahabatan yang begitu manis aku lalui bersamanya, sebuah
kisah yang menurutku sudah cukup untuk menjadi sebuah kebahagiaan, aku selalu
bersamanya dan selalu menemaninya, aku sahabat terdekatnya.
Hanya
saja rasa berkecukupanku berubah menjadi cemburu dan iri pada seseorang yang
sebenarnya baru dikenal Jeje dua bulan yang lalu, sedangkan aku sudah sejak 16
tahun yang lalu. Mereka begitu dekat hanya dalam kurun waktu dua bulan, dan aku
hanya diam menjadi sahabat dengan perasaan tersembunyinya selama 16 tahun.
“Hei!”
teriakan itu membuyarkan meditasiku, jantungku bedegup cepat karena kaget.
“Beruntung
aku tidak terkena serangan jantung!” aku mendengus kesal dan sambil menarik
nafas panjang untuk penetrasi agar degup jantungku kembali normal.
“Itu
bukan karena salahku, tapi karena lemakmu ini” jawabnya meledekku sambil
menunjuk berutku yang memang tergolong buncit.
“Dimana
Denis?” tanyaku penasaran saat menyadari bahwa Denis tidak bersamanya.
“Dia
terkena masalah dengan gadisnya” terlihat raut wajah Jeje seketika berubah
menjadi begitu mengekspresikan sebuah kekecewaan.
“Pacarnya?”
tanyaku hati-hati, Jeje seketika langsung memelukku dan terlihat seperti
menahan sebuah tangisan. Aku mengerti bahwa sesuatu telah terjadi padanya,
bukan saatnya aku untuk bertanya dimana letak masalahnya sekarang. Ini salahku
karena aku tidak bertugas dengan baik untuk menjaganya, aku gagal menjaga
perasaannya.
“Baiklah,
kita pulang sekarang sebelum aku dituduh satpol PP telah melakukan sesuatu yang
membahayakanmu” dan untuk kesekian kalinya cubitan itu mendarat lagi di
pinggangku.
Jeje
menggenggam tanganku erat, menggandengku tampak seperti ingin selalu
mendekapku, ini membuatku semakin sesak menahan rasa yang aku sembunyikan. Tapi
jika ini membuatnya nyaman maka aku tidak keberatan menahan sesak ini lebih
lama.
***
Memar
di ujung bibirku terasa begitu perih saat ibu me-ngompresku, sesekali mengomel
untuk menasehatiku, ibu mana yang tidak mengomel mengetahui anaknya berkelahi
dengan teman-temannya.
“Lain
kali jangan berkelahi lagi!” ucap ibuku dengan nada marahnya, atau mungkin nada
itu sebagai ekspresi ke khawatirannya.
“Mereka
mengganggu Jeje sampai menangis” jawabku membela.
“Kamu
tidak harus berkelahi dengan mereka!” sentak ibuku karena aku membela
omongannya.
“Jeje
memangis” jawabku sedikit takut.
“Dan
kamu akhirnya terluka?” seru ibuku lagi dengan marahnya yang sedikit berkurang.
“Aku
hanya ingin menjaganya, ma!” ibuku hanya tersenyum mendengar jawaban
terakhirku.
“Bukan
begitu cara menjaga seorang gadis, sayang!” tangannya tetap me-ngompresku
dengan begitu hati-hati, luka ku mulai tidak terasa sakit lagi.
“Kamu
hanya perlu menjaga perasaannya saja” kalimat terakhir itu menjadi penutup nasehatnya
padaku.
Usiaku
yang masih anak-anak belum mengerti maksud nasehat ibuku, yang aku tahu ibu
hanya menyuruhku mengajak pulang Jeje kalau misalkan ada yang menganggunya
lagi. Aku mengartikan bahwa nasehat itu berarti aku tidak boleh berkelahi lagi,
hanya itu yang aku mengerti.
“Terimakasih
selalu menjadi sahabatku!” matanya yang membulat menatapku dengan penuh
kepolosannya, usia kami baru 10 tahun dan kami sudah mengerti arti sebuah
persahabatan.
Aku
mengalihkan pandanganku mengarah ke sekeliling taman tempat aku dan Jeje biasa
bermain. Taman ini berisi beberapa tempat bermain anak dan banyak sekali
bunga-bunga hiasan yang begitu indah menjadi sebuah pemandangan. Aku terdiam
sejenak menatap sebuah objek permainan anak yang menarik perhatianku.
“Ayo
kita bermain disana” usulku membuyarkan keheningan yang terjadi sekitar satu
menit yang lalu.
“Papan
jungkat-jungkit?” aku hanya mengangguk menyetujui.
“Aku
sudah besar Ian!” jawabnya sedikit mendengus.
“Itu
terlihat menyenangkan” aku tidak memperdulikan Jeje yang masih tetap duduk di
kursi taman, aku segera berlarian menuju papan jungkat-jungkit yang menarik
perhatianku.
“Hei!
Kau meninggalkan aku?” teriakan Jeje terdengar dari kejauhan.
***
“Apa
kau pernah berfikir bahwa suatu saat aku mungkin jatuh cinta padamu?” kalimat itu
meluncur begitu saja tanpaku sadari, lebih tepatnya aku mungkin sedang berada
di alam bawah sadarku, karena dalam kesadaranku bagaimana mungkin aku akan
berani mengucapkan hal ini.
“Maksudmu?”
jawabnya terlihat sedikit terkejut dengan kalimat yang aku lontarkan.
“Tidak,
aku tidak sengaja mengatakan itu, lupakan saja” aku segera kembali ke alam
sadarku dan menyadari bahwa kalimat sebelumnya harus di tarik kembali sebelum
persahabatan ini akan berakhir hanya karena sebuah cinta yang memang bukan
untukku.
“Apa
kau pernah berfikir bahwa aku selalu ingin bertemu denganmu?” kali ini Jeje
berbicara terlihat seperti orang yang sedang melantur
“Maksudmu?”
aku mengikuti gaya bicara Jeje saat terkaget mendengar ucapanku.
“Menurutmu
itu menjadi pertanda bahwa aku jatuh cinta padamu?” aku semakin kikuk mendengar
ucapannya.
“Entahlah
aku tidak terlalu memahami soal cinta”.
“Bukankah
kau pernah mengatakan hal itu seminggu yang lalu?” Jeje terlihat seperti
semakin mendesakku.
“Aku
tidak pernah mengatakan kelemahanku yang tidak memahami cinta” jawabku sedikit
menerka-nerka maksud dari pertanyaan Jeje.
“Mungkin
kau akan sering berharap untuk bertemu orang yang membuatmu jatuh cinta!” dia
menarik nafasnya untuk memberikan jeda kalimatnya.
“Apa
kau ingat dengan hal itu?” desaknya lagi padaku, aku hanya terdiam mendengarkan
semua kalimatnya tanpa menjawab. Aku sudah tidak bisa memberikan jawaban apapun
untuknya.
“Apa
kau sudah selesai?” tanyaku pada Jeje yang sekarang lebih memilih menunduk
untuk menyembunyikan rasa kecewanya karena aku tidak memberikan tanggapan.
“Ini
bukan soal tentang apakah kau memang jatuh cinta atau tidak, aku hanya akan
menjelaskan isi hatiku selama ini, isi hati yang selalu aku tahan untuk tidak
aku sampaikan padamu” aku menjeda kalimatku.
“Tapi
hari ini kau mendesakku dengan begitu paksanya untuk membuatku lebih merasakan
sesak lagi, dan aku tidak dapat lagi menahan isi hatiku”.
“Maaf”
ucapnya lirih memotong kalimatku.
“Aku
jatuh cinta padamu, bukan hanya karena aku sering ingin berada di dekatmu, tapi
ini memang isi hatiku sejak dulu. Aku merasakan perih yang amat terasa begitu
menyakitkan ketika ada seseorang yang menganggumu, itu termasuk ketika seorang
Denis yang membuatmu jatuh cinta dan akhirnya kau menangis” aku menjeda kalimatku.
“Kau
tidak pernah mengerti isi hatiku sejak dulu, aku hanya menikmati perih dan
sesak saat menerima kenyataan bahwa aku harus melihatmu menangis karena orang
lain menganggumu. Tapi kau lebih memilih jatuh cinta untuk pertama kalinya pada
orang lain, bukan padaku?” aku menghela nafas panjang setelah menyelesaikan
kalimatku. Jeje hanya terdiam memperhatikanku.
“Aku
jatuh cinta padamu!” ucapku lirih berbisik di telinga Jeje.
“Kau
yakin dengan semuanya?”.
“Awalnya
aku tidak yakin, tapi jika aku jatuh cinta inilah hakku untuk
memperjuangkannya” jawabku dengan begitu mantap.
Jeje
memelukku begitu erat, aku mengusap punggungnya dalam pelukan. Ini mungkin yang
dinamakan sahabat jadi cinta, aku tidak terlalu memperdulikan masalah sahabat
jadi cinta atau apalah itu namanya. Yang terpenting aku sudah mengatakan isi
hatiku.
“Aku
juga jatuh cinta padamu! Terimakasih telah menjadi sahabatku selama ini”.