Sabtu, 06 September 2014

Ironi

Aku salut melihat mereka.
Berjalan dengan lutut tergores tanpa alas.
Aku bilang lutut, bukan kaki.
Mereka bekerja keras, bukan mengemis.

Kerasnya hidup sepanas aspal dipijak.
Tak kenal menyerah, mereka tidak lemah.
Apa kau tidak malu?
Menutup matamu, berakting cacat?

Sungguh kau bisa menjadi aktris terkenal.
Kau malas berusaha.
Aku tak bilang kau lemah.
Tapi tindakanmu meminta belas kasih.
Itu memalukan!!!...

Budapest? (Tantangan Menulis Fiksi 30 menit bersama kak Moemoe dan kak Prisca #cq, Gagas Media)



            Mengerjap, meraba apa yang akurasa. Apa yang terjadi sesaat sebelum aku terbentur sebuah tembok dengan artistik modern yang indah, aku baru sekali kesini. Gemerlap silau cahaya lampu yang ramai di sepanjang jalan, terlihat sangat ramai suasananya. Ini kali pertama aku kesini, entah bagaimana caranya.
            Aku merogoh saku, mencari uang yang bartangkali bisa membantuku dalam kebingungan. Bagaimana mungkin aku tak bingung sampai tersesat di sebuah tempat seindah ini. Indah yang aku maksudkan karena ini tidak aku temukan di Indonesia, apa ini negara yang berbeda.
            “Excusme!” ucapku mencari perhatian seorang anak yang melintas, dia sendirian. Aku sengaja berbahasa Inggris karena aku sadar bahwa bahasa Indonesia tidak berlaku bagi mancanegara.
            Melihat respon bingung si anak aku mulai bertambah tegang, bagaimana aku mengetahui dengan segera dimana aku sekarang. Walaupun tempat ini indah tapi apakah aku berharap ingin selamanya tidak pulang dari tempat ini.
            Aku meraba ponselku, ya sesuai zaman yang aku singgahi, ini zaman modern.
            “Mungkin ini membantu” gumamku dalam hati.
            Walpaper sudah berubah, tampilannya jauh lebih menarik dari tampilan sebelumnya. Gambar kemilau sebuah tempat yang sedikit aku kenali berada di dekat sini, aku yakin gambar itu mirip, terutama panorama jembatan indah itu sesuai dengan bentuk asli yang aku pijak sekarang.
            “Siapa yang mengganti?” tanyaku pada diri sendiri, memang aku bisa menanyakan kepada siapa lagi. Ini tengah malam dan satu-satunya yang aku temui adalah anak kecil dengan penampilan sederhananya, apa dia seperti anak jalanan di Indonesia, negriku.
            “Sekarang tengah malam” gumamku lagi.
         “Jalanan sangat ramai, tapi tak seorangpun memperdulikan aku” ucapku lagi sambil menendang sebuah kaleng minuman kosong. Bukan maksudku menendang sebuah tiang besi yang ada didepanku, kelihatannya tempat ini bersih sekali, sempurna indah untuk dikatakan sebagai surga dunia.
            Seperti mimpi aku berada di tempat ini, terpesona dan bingung dengan ratusan pertanyaan dalam diriku, satu pertanyaanpun tidak terjawab. Bagaimana dengan ratusan lainnya. Setidaknya aku berada di tempat yang cukup untuk membuat aku berkesan dengan pemandangannya.
***
            “Bangun Kris!”
            “Siapa yang memanggilku?” ucapku sambil menoleh.
            “Sudah siang” teriakan itu terdengar lebih kencang lagi.
            “Mama?” fikirku seketika mengenali suaranya.
            Ternyata itu mimpi yang singkat adanya, pantas saja aku tak diperkenankan untuk menyapa siapapun dalam mimpi, tidak mungkin jika itu sebuah kenyataan.
            Meraba tempat disekitarku, meraih ponsel yang biasa aku letakan di samping saat hendak terlelap, alasannya tidak lain untuk mendengar sebuah lagu melow penghantar tidur. Aku sudah tidak terlalu sering mendengarkan lagu nina bobo di usiaku yang bulan depan genap 15 tahun tapi aku masih tergolong anak yang imajinatif, aku tahu itu. Aku bahkan pernah membayangkan sebuah kota indah dalam fikirku sebelum mimpi semalam, pertanyaan yang tertinggal adalah apa benar tempat itu ada.
            “Budapest?” gumamku menekan sebuah gambar yang mendadak terdapat dalam ponselku.
           “Seperti mimpiku?” tanyaku lagi pada diri sendiri, sempurna dengan perasaanku yang semakin bingung.
            Aku menjelajah internet, mengetik kata kunci, ‘Budapest’.
            Muncul banyak gambar, rata-rata mirip dengan yang aku punya. Indah sekali, ternyata tempat itu benar adanya. Tapi aku ragu, adakah tempat seindah itu. Aku tak mengerti mengapa tempat itu sangat indah, sempat dalam imajinasiku tapi belum pernah aku ketahui. Aku mengklik gambarnya, sebuah kota di negri Hungaria.