Rahma,
begitu aku akrab menyapanya, dia sahabatku yang paling dekat, baik, pengertian,
perhatian dan begitu menyenangkan. Aku mengenalnya sejak pertama aku pindah
domisili dari Sumatra ke Purwakarta, Jawa Barat. Berkenalan dengannya saat aku
belum mempunyai teman satupun di sekolah baruku. SMAN 2 Purwakarta.
Ceritaku menjadi dongeng baginya
setiap hari, tawaku sebagai jawaban atas tingkahnya yang menyenangkan, senyumku
menandakan setuju bahwa sahabatku memang cantik.
Tanggal 10 November 2013 menjadi
cerita kehilangan terburukku, cerita yang tidak dapat aku dongengkan kepada
sahabatku, hari itu aku kehilangan sahabat terbaikku. Rahma.
Dress code biru yang aku kenakan
untuk perayaan ulang tahun sekolah menjadi basah dengan air mataku, acara kacau
dan berganti dengan suasana duka cita. Semuanya berawal dari suara MC yang
tiba-tiba menghentikan acara yang sedang berlangsung.
“Mohon maaf acara terpaksa
dihentikan karena keluarga SMAN 2 Purwakarta sedang berduka cita, kita doakan
agar Rahma teman kita dapat diselamatkan” begitu pengumuman yang membuat
seluruh warga sekolah berhenti dengan aktivitasnya, termasuk aku yang mematung
tak percayadengan ini semua.
“Sabar Cika, kita juga merasa
terpukul atas kejadian ini, sekarang kita doakan Rahma baik-baik saja” Riska
yang juga teman dekat Rahma menepuk pundakku dan memelukku.
“Bagaimana kronologinya Ris?”
tanyaku pada Riska.
“Terlindas truk pasir di pertigaan”
jawabnya masih menangis.
“Maksudnya bagaimana itu terjadi?”
“Cika tau kalau dipertigaan itu
memang rawan kecelakaan? Banyak mobil besar yang lewat, dan....” suaranya
terhenti karena menangis lagi.
“Dan Rahma jatuh dari motor bersama
Jeni saat belok disitu, Jeni selamat karena jatuh kepinggir jalan, sedangkan
Rahma jatuh ke tengah jalan” ucapnya masih tersendat-sendat karena tangisan.
“astaghfirullah, mengapa harus Rahma
?” ucapku berteriak dan mulai meneteskan air mataku.
“kita kerumah sakit sekarang?” aku
menjawabnya dengan anggukan.
Saat itu aku berangkat menuju rumah
sakit dengan tergesa-gesa, berharap masih bisa melihat Rahma tersenyum dan
kondisinya baik. Melangkah lemas bagai tidak menginjak tanah, jiwa bagaikan
kosong tanpa ruh yang menggerakan, semua otot melemas dan semuanya buram karena
pandangan terbias air mata.
“sabar yah sayang!” bu Anisa
menghampiriku didepan ruang UGD.
“Rahma baik-baik saja kan Bu?
Tanyaku menangis, bu Anisa hanya diam menatapku dan Riska, kemudian memeluk
kami dangan air mata yang menandakan bahwa keadaan memang buruk. Selesai
memelukku dan Riska sontak bu Anisa menggelengkan kepala.
“kita kehilangan Rahma!” jawabnya
berusaha tegar.
“nggak bu, nggak! Rahma baik-baik
saja!” teriakku sambil menghambur masuk kedalam ruang UGD. Aku mematung dan
nyaris kaki ku tidak bisa menopang berat tubuh saat melihat seseorang yang
berbaring kaku. Aku saling menatap dengan Riska, bu Anisa memandangku kosong
dari pintu kemudian mengangguk dan membenarkan bahwa Rahma memang sudah
terlelap.
Teringat semua kenangan bersamanya,
semua canda, tawa, ceria dan ceritanya yang selalu mewarnai hidupku. Hari itu
semuanya hilang, hilang tanpa adalagi Rahma yang ada buatku, mungkin Riska juga
merasakan hal yang sama, bahkan sekitar ratusan siswa yang mengenalnya akan
merasa kehilangan, kehilangan satu orang yang biasanya ikut hadir dan belajar
bersama.
Aku tidak mengerti bagaimana Rahma
pergi secepat ini, seluruh keluarga dan sahabat menangisinya, teman
seperjuangan ikut serta melayat tanda bela sungkawa. Dramatis bagaimana prosesi
pemakaman yang dihadiri lebih dari seratus orang ini, aku berusaha kuat,
menguatkan ibunya dan Anis adiknya yang masih berusia 10 tahun.
“ibu yang sabar yah! Anis juga ngga
boleh sedih, kan kakak sudah bobo cantik, pasti kakak udah bahagia dan mimpi
indah” ucapku menegarkan hati.
“tapi kakak bobonya ngga ngajak aku,
aku kan takut kalau tidurnya ngga bareng kakak!” jawab Anis begitu polos, aku
tidak sanggup menahan air mata lagi. Denis mendekati aku dan Anis dengan
membawa syal PMR milik Rahma yang sempat dipinjamnya.
“ini punya kakak Rahma sayang, kakak
sangat baik! Adik juga harus baik seperti kakak oke?” ucapnya penuh dengan
senyum dan berusaha menguatkan Anis yang masih menangis memegangi nisan
kakaknya.
“terimakasih kakak! Pasti aku jagain
punya kakak dengan baik, dan aku juga ingin pake ini nanti, biar sama kaya
kakak!” jawabnya sedikit tersenyum. Aku menatap Denis dengan tatapan kosong,
Denis tersenyum padaku dan Anis meninggalkan kami berlari menuju ibunya yang
memanggil.
“Rahma sangat baik, aku mencintainya
tapi aku belum sempat mengatakan itu” ucapnya lirih.
“Rahma sudah tau dan mengerti,
ikhlaskan! Bobo cantik Rahma sayang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar