Kamis, 11 Juni 2015

Bobo Cantik Sahabat (Antologi Semua Kembali Pada-Nya 'Penerbit Goresan Pena')



            Rahma, begitu aku akrab menyapanya, dia sahabatku yang paling dekat, baik, pengertian, perhatian dan begitu menyenangkan. Aku mengenalnya sejak pertama aku pindah domisili dari Sumatra ke Purwakarta, Jawa Barat. Berkenalan dengannya saat aku belum mempunyai teman satupun di sekolah baruku. SMAN 2 Purwakarta.
            Ceritaku menjadi dongeng baginya setiap hari, tawaku sebagai jawaban atas tingkahnya yang menyenangkan, senyumku menandakan setuju bahwa sahabatku memang cantik.
            Tanggal 10 November 2013 menjadi cerita kehilangan terburukku, cerita yang tidak dapat aku dongengkan kepada sahabatku, hari itu aku kehilangan sahabat terbaikku. Rahma.
            Dress code biru yang aku kenakan untuk perayaan ulang tahun sekolah menjadi basah dengan air mataku, acara kacau dan berganti dengan suasana duka cita. Semuanya berawal dari suara MC yang tiba-tiba menghentikan acara yang sedang berlangsung.
            “Mohon maaf acara terpaksa dihentikan karena keluarga SMAN 2 Purwakarta sedang berduka cita, kita doakan agar Rahma teman kita dapat diselamatkan” begitu pengumuman yang membuat seluruh warga sekolah berhenti dengan aktivitasnya, termasuk aku yang mematung tak percayadengan ini semua.
            “Sabar Cika, kita juga merasa terpukul atas kejadian ini, sekarang kita doakan Rahma baik-baik saja” Riska yang juga teman dekat Rahma menepuk pundakku dan memelukku.
            “Bagaimana kronologinya Ris?” tanyaku pada Riska.
            “Terlindas truk pasir di pertigaan” jawabnya masih menangis.
            “Maksudnya bagaimana itu terjadi?”
            “Cika tau kalau dipertigaan itu memang rawan kecelakaan? Banyak mobil besar yang lewat, dan....” suaranya terhenti karena menangis lagi.
            “Dan Rahma jatuh dari motor bersama Jeni saat belok disitu, Jeni selamat karena jatuh kepinggir jalan, sedangkan Rahma jatuh ke tengah jalan” ucapnya masih tersendat-sendat karena tangisan.
            “astaghfirullah, mengapa harus Rahma ?” ucapku berteriak dan mulai meneteskan air mataku.
            “kita kerumah sakit sekarang?” aku menjawabnya dengan anggukan.
            Saat itu aku berangkat menuju rumah sakit dengan tergesa-gesa, berharap masih bisa melihat Rahma tersenyum dan kondisinya baik. Melangkah lemas bagai tidak menginjak tanah, jiwa bagaikan kosong tanpa ruh yang menggerakan, semua otot melemas dan semuanya buram karena pandangan terbias air mata.
            “sabar yah sayang!” bu Anisa menghampiriku didepan ruang UGD.
            “Rahma baik-baik saja kan Bu? Tanyaku menangis, bu Anisa hanya diam menatapku dan Riska, kemudian memeluk kami dangan air mata yang menandakan bahwa keadaan memang buruk. Selesai memelukku dan Riska sontak bu Anisa menggelengkan kepala.
            “kita kehilangan Rahma!” jawabnya berusaha tegar.
            “nggak bu, nggak! Rahma baik-baik saja!” teriakku sambil menghambur masuk kedalam ruang UGD. Aku mematung dan nyaris kaki ku tidak bisa menopang berat tubuh saat melihat seseorang yang berbaring kaku. Aku saling menatap dengan Riska, bu Anisa memandangku kosong dari pintu kemudian mengangguk dan membenarkan bahwa Rahma memang sudah terlelap.
            Teringat semua kenangan bersamanya, semua canda, tawa, ceria dan ceritanya yang selalu mewarnai hidupku. Hari itu semuanya hilang, hilang tanpa adalagi Rahma yang ada buatku, mungkin Riska juga merasakan hal yang sama, bahkan sekitar ratusan siswa yang mengenalnya akan merasa kehilangan, kehilangan satu orang yang biasanya ikut hadir dan belajar bersama.
            Aku tidak mengerti bagaimana Rahma pergi secepat ini, seluruh keluarga dan sahabat menangisinya, teman seperjuangan ikut serta melayat tanda bela sungkawa. Dramatis bagaimana prosesi pemakaman yang dihadiri lebih dari seratus orang ini, aku berusaha kuat, menguatkan ibunya dan Anis adiknya yang masih berusia 10 tahun.
            “ibu yang sabar yah! Anis juga ngga boleh sedih, kan kakak sudah bobo cantik, pasti kakak udah bahagia dan mimpi indah” ucapku menegarkan hati.
            “tapi kakak bobonya ngga ngajak aku, aku kan takut kalau tidurnya ngga bareng kakak!” jawab Anis begitu polos, aku tidak sanggup menahan air mata lagi. Denis mendekati aku dan Anis dengan membawa syal PMR milik Rahma yang sempat dipinjamnya.
            “ini punya kakak Rahma sayang, kakak sangat baik! Adik juga harus baik seperti kakak oke?” ucapnya penuh dengan senyum dan berusaha menguatkan Anis yang masih menangis memegangi nisan kakaknya.
            “terimakasih kakak! Pasti aku jagain punya kakak dengan baik, dan aku juga ingin pake ini nanti, biar sama kaya kakak!” jawabnya sedikit tersenyum. Aku menatap Denis dengan tatapan kosong, Denis tersenyum padaku dan Anis meninggalkan kami berlari menuju ibunya yang memanggil.
            “Rahma sangat baik, aku mencintainya tapi aku belum sempat mengatakan itu” ucapnya lirih.
            “Rahma sudah tau dan mengerti, ikhlaskan! Bobo cantik Rahma sayang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar