I love you.
Tulisan itu sedikit terlihat buram dalam pandanganku, aku menahan apa yang
ingin aku tumpahkan namun rasa penasaranku membuat semuanya lebih berat lagi
untuk aku pertahankan. I love you to. Dibawahnya
terdapat lagi tulisan sebagai balasan.
“Apa
ini dari seseorang?,” tanyaku dengan nada yang berat, gadis yang mendapatkan
pertanyaan itu mengernyitkan alis dengan wajah tak merasa bersalah.
“Dari.....,”
jawabnya ragu, terhenti dan tidak melanjutkan penjelasannya, aku hanya
tersenyum padanya. gadis yang sangat aku sayangi.
“Teruskan
saja, aku tidak akan marah,” ucapku dengan lembut padanya, membujuk agar dia
segera menjelaskan apa yang terjadi.
Pertanyaan
yang tidak aku dapatkan jawabannya, hand phone yang baru saja terkena razia
dadakan dariku. Aku tak memiliki masalah dengan gadis itu, hubunganku tak
renggang sedikitpun kita romantis dalam hubungan, terakhir aku bersamanya ke
toko buku, bercanda dan tertawa sepanjang jalan bahkan kita bergandengan
tangan.
“Aku
pulang!,” ucapnya singkat tanpa bersalaman denganku, biasanya Mae tidak pernah
lupa menggengam tanganku dan mengangkatnya menyentuh pipi tembemnya sebelum pergi
meninggalkanku, kali ini kondisinya sangat rumit sekali untuk aku jelaskan. Dia
meninggalkanku tanpa pesan apapun terkecuali kalimat terakhirnya yang sangat
singkat.
***
Sempurna
sudah alasan bagiku untuk mengatakan kecewa, memutuskan ikatan yang indah saat
sebelum semuanya terjadi dan membuat aku terluka untuk saat ini. duduk terdiam pada
tempat dimana aku membaca kalimat menyebalkan itu, sebenarnya kalimat itu indah
saat aku yang mengucapkannya, tapi ternyata bukan aku dan dia membalasnya
dengan kalimat yang sama.
“Aku
cinta kamu,” ucapku lirih dan nyaris tak terdengar.
Pandanganku
hampa menatap sebuah titik dimana aku menjadi terfokus. Titik yang jika di
konfersikan menjadi suhu maka titik yang aku ceritakan adalah sebuah titik
dimana air mendidih dan bahkan sebatang logam baja dapat meleleh karenanya.
Sedangkan hatiku membeku tanpa alasan yang pasti.
“Aku
salah lihat,” gumamku dalam hati, mencoba untuk menetralkan titik didih dan
titik beku yang membuat seluruh tubuhku menjadi kejang dibuatnya, pandangan
memudar dengan perlahan dan tentu saja aku menyadari hal itu. aku menahan
tumpahan air mataku agar tidak lebih deras lagi.
Sementara
itu Mae tertawa dengan seseorang yang aku tahu adalah mantan pacarnya.
“Kau
kenapa?,,” bentak Santi membuatku terkejut, aku tidak seharusnya memperlihatkan
kerapuhan hatiku saat ini. Santi sahabat terbaikku, mungkin jika aku menampakan
kesedihan akan membuatnya menjadi sibuk untuk mengurusiku. Aku bukan laki-laki
yang cengeng.
“Aku
tidak apa-apa?,” jawabku berbohong, Santi menatapku curiga.
“Aku
tahu kau sedang menatap dua orang menyebalkan yang berada diarah jam satu,” ucapnya
panjang lebar dengan gaya perhatiannya. Aku akhirnya menyerah dan mengiyakan
ocehannya.
“Kau
sudah terlihat sangat kusut,” ujarnya lagi menyinggungku, aku tersenyum karena
ocehan Santi yang sangat menghibur, sahabat baikku selalu berkicau nyaring saat
aku membutuhkan kesunyian dan kesendirian. Keberadaannya tidak mengganggu dan
justru membuat aku nyaman.
“Kau
bisa mencari gadis lain!,” ucapnya dengan nada tinggi, dua pasang mata mengarah
padaku. Sepasang milik Mae dan satu lagi milik Indra, mantan pacar Mae. Aku
menundukan pandangan dan menginjak kaki Santi sebagai tanda bahwa dirinya
berlebihan.
“Kak?,”
suara itu menusuk dan mengoyak perasaanku.
“Ada
apa?”
“Maafkan
aku!”
“Itu
hakmu, aku hanya berusaha untuk setia dan tulus padamu,” jawabku mengakhiri
pembicaraan, lebih tepatnya bahwa tidak ada lagi pertanyaan yang mesti aku
jawab. Tanpa aku sadari bahwa air mata itu jatuh.
“Ayo
masuk kelas,” ajak Santi menggandeng tanganku, aku ikut saja dengannya.
“Kau
harusnya memutuskan dia!,” bisik Santi dengan nada kesal, aku mengernyitkan
alisku dan sedikit ragu untuk menyetujui usulannya.
“Aku
mencintainya, kau tahu? dulu mantannya pernah mengalami hal yang sama seperti
saat ini, bukankah saat Mae memilihku membuat laki-laki itu tersakiti,” jelasku
pada Santi.
“Saat
itu dia sudah memutuskan Mae, kau tidak bersalah,” protesnya lagi.
“Kau
lihat sekarang mereka bersama lagi?,” tanyaku menyanggah protesnya.
“Lantas?”
“Itu
karena laki-laki itu bertahan dengan cintanya, akupun ingin melakukan hal yang
sama,” ucapku dengan nada berat, canggung dan ragu, itu yang aku rasakan.
Mungkinkah aku bertahan dalam luka seperti ini, bukankah cinta tulus tidak
menyakitkan.
“Terserah!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar