Kamis, 11 Juni 2015

Mungkin? (Naskah Gagal Masuk Antologi)



I love you. Tulisan itu sedikit terlihat buram dalam pandanganku, aku menahan apa yang ingin aku tumpahkan namun rasa penasaranku membuat semuanya lebih berat lagi untuk aku pertahankan. I love you to. Dibawahnya terdapat lagi tulisan sebagai balasan.
“Apa ini dari seseorang?,” tanyaku dengan nada yang berat, gadis yang mendapatkan pertanyaan itu mengernyitkan alis dengan wajah tak merasa bersalah.
“Dari.....,” jawabnya ragu, terhenti dan tidak melanjutkan penjelasannya, aku hanya tersenyum padanya. gadis yang sangat aku sayangi.
“Teruskan saja, aku tidak akan marah,” ucapku dengan lembut padanya, membujuk agar dia segera menjelaskan apa yang terjadi.
Pertanyaan yang tidak aku dapatkan jawabannya, hand phone yang baru saja terkena razia dadakan dariku. Aku tak memiliki masalah dengan gadis itu, hubunganku tak renggang sedikitpun kita romantis dalam hubungan, terakhir aku bersamanya ke toko buku, bercanda dan tertawa sepanjang jalan bahkan kita bergandengan tangan.
“Aku pulang!,” ucapnya singkat tanpa bersalaman denganku, biasanya Mae tidak pernah lupa menggengam tanganku dan mengangkatnya menyentuh pipi tembemnya sebelum pergi meninggalkanku, kali ini kondisinya sangat rumit sekali untuk aku jelaskan. Dia meninggalkanku tanpa pesan apapun terkecuali kalimat terakhirnya yang sangat singkat.
***
Sempurna sudah alasan bagiku untuk mengatakan kecewa, memutuskan ikatan yang indah saat sebelum semuanya terjadi dan membuat aku terluka untuk saat ini. duduk terdiam pada tempat dimana aku membaca kalimat menyebalkan itu, sebenarnya kalimat itu indah saat aku yang mengucapkannya, tapi ternyata bukan aku dan dia membalasnya dengan kalimat yang sama.
“Aku cinta kamu,” ucapku lirih dan nyaris tak terdengar.
Pandanganku hampa menatap sebuah titik dimana aku menjadi terfokus. Titik yang jika di konfersikan menjadi suhu maka titik yang aku ceritakan adalah sebuah titik dimana air mendidih dan bahkan sebatang logam baja dapat meleleh karenanya. Sedangkan hatiku membeku tanpa alasan yang pasti.
“Aku salah lihat,” gumamku dalam hati, mencoba untuk menetralkan titik didih dan titik beku yang membuat seluruh tubuhku menjadi kejang dibuatnya, pandangan memudar dengan perlahan dan tentu saja aku menyadari hal itu. aku menahan tumpahan air mataku agar tidak lebih deras lagi.
Sementara itu Mae tertawa dengan seseorang yang aku tahu adalah mantan pacarnya.
“Kau kenapa?,,” bentak Santi membuatku terkejut, aku tidak seharusnya memperlihatkan kerapuhan hatiku saat ini. Santi sahabat terbaikku, mungkin jika aku menampakan kesedihan akan membuatnya menjadi sibuk untuk mengurusiku. Aku bukan laki-laki yang cengeng.
“Aku tidak apa-apa?,” jawabku berbohong, Santi menatapku curiga.
“Aku tahu kau sedang menatap dua orang menyebalkan yang berada diarah jam satu,” ucapnya panjang lebar dengan gaya perhatiannya. Aku akhirnya menyerah dan mengiyakan ocehannya.
“Kau sudah terlihat sangat kusut,” ujarnya lagi menyinggungku, aku tersenyum karena ocehan Santi yang sangat menghibur, sahabat baikku selalu berkicau nyaring saat aku membutuhkan kesunyian dan kesendirian. Keberadaannya tidak mengganggu dan justru membuat aku nyaman.
“Kau bisa mencari gadis lain!,” ucapnya dengan nada tinggi, dua pasang mata mengarah padaku. Sepasang milik Mae dan satu lagi milik Indra, mantan pacar Mae. Aku menundukan pandangan dan menginjak kaki Santi sebagai tanda bahwa dirinya berlebihan.
“Kak?,” suara itu menusuk dan mengoyak perasaanku.
“Ada apa?”
“Maafkan aku!”
“Itu hakmu, aku hanya berusaha untuk setia dan tulus padamu,” jawabku mengakhiri pembicaraan, lebih tepatnya bahwa tidak ada lagi pertanyaan yang mesti aku jawab. Tanpa aku sadari bahwa air mata itu jatuh.
“Ayo masuk kelas,” ajak Santi menggandeng tanganku, aku ikut saja dengannya.
“Kau harusnya memutuskan dia!,” bisik Santi dengan nada kesal, aku mengernyitkan alisku dan sedikit ragu untuk menyetujui usulannya.
“Aku mencintainya, kau tahu? dulu mantannya pernah mengalami hal yang sama seperti saat ini, bukankah saat Mae memilihku membuat laki-laki itu tersakiti,” jelasku pada Santi.
“Saat itu dia sudah memutuskan Mae, kau tidak bersalah,” protesnya lagi.
“Kau lihat sekarang mereka bersama lagi?,” tanyaku menyanggah protesnya.
“Lantas?”
“Itu karena laki-laki itu bertahan dengan cintanya, akupun ingin melakukan hal yang sama,” ucapku dengan nada berat, canggung dan ragu, itu yang aku rasakan. Mungkinkah aku bertahan dalam luka seperti ini, bukankah cinta tulus tidak menyakitkan.
“Terserah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar