Kamis, 11 Juni 2015

Kisah Dibalik Otak Seni (Antologi Cerpen "Sosok Terhebat" Penerbit Inspimedia)



Gosip itu menyebar disemua sudut sekolah, tentu saja aku lebih dulu mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi. Gosip itu memang benar adanya, lima tahun sudah pak Rudi mengajarkan seni di sekolah yang memiliki julukan sekolah seni ini. Dia bukan PNS dan hanyalah guru honorer, berusaha memberikan ilmu dan idenya untuk almamaternya sendiri. Ya dia sendiri lulusan dari sekolah berjulukan sekolah seni itu, dulu julukan itu belum seramai saat ini.
Kisah itu jelas di ceritakannya padaku, aku adalah buah hasil dari otak seninya. Seorang yang tidak berbakat menjadi orang dengan kualitas lebih baik lagi, terutama dalam bidang seni.
“Ben, gue kali ini benar-benar serius mengundurkan diri dari sekolah”
“Kenapa begitu Beh?” aku biasanya memanggil sebutan babeh untuk pak Rudi, itu panggilan akrabnya.
“Ayo temenin gue keliling sekolah” ajaknya padaku, bahasanya tidak lagi mencerminkan bahwa dirinya seorang guru. Tapi beliau sangat dekat sekali dengan muridnya.
Ruangan itu berubah sejak lima tahun yang lalu, ruangan seni dimana semua anak berbakat berkumpul. Melatih skill masing-masing dengan tekun, mengembangkan seni dengan penuh kesungguhan dan cinta. Kekeluargaan kami sangat dekat sekali, dengan babeh di tengah-tengah kami.
“Lima tahun yang lalu ini ruangan pertama gue” ucapnya dengan penuh makna, makna seorang yang harus segera meninggalkan hal penting dalam hidupnya. Ruangan itu sangat nyaman baginya, sejak lima tahun yang lalu. Saat ini pak Rudi tidak lama lagi untuk meninggalkan ruangan ternyamannya, sebuah ruangan yang penuh cinta baginya.
Ekspresinya tidak lagi ceria, sangat mendung mungkin perasaanya. Masuk kedalam ruangan penuh cerita itu, anak-anak seni seperti biasa bermain di ruangan ini sepulang sekolah. Band, Jaipong, Perkusi, Modern dance, mereka semua adalah penghuni ruangan seni, ya ruangan yang berarti bagi pak Rudi. Aktivitas tidak terganggu sama sekali, Indah masih melakukan tarian Jaipongnya dengan lihai. Pak Rudi duduk dimejanya, belum lengkap jika pak Rudi duduk tanpa di temani kopi hitam kesukaannya.
Seseorang pergi untuk mencarikan kopi, ya semuanya sangat paham dengan kebiasaan babeh.
Sahabat pak Rudi yaitu bu Santi yang juga menjadi back ground atas kesuksesan meraih julukan sekolah seni. Gosip yang sama ternyata mengaitkan bu Santi juga, ya mereka berdua akan keluar dari sekolah. Ruangan ini tidak akan lagi memiliki pengurus seperti mereka berdua yang amat mencintai seni, senyaman di dalam ruangan ini mungkin tidak akan seperti ini jika tanpa di bumbui dengan rasa cinta mereka dengan kesenian.
Sedikit menyentuh kami yang menyaksikan kemendungan dari balik mimik wajah mereka. Mendung menggalau yang biasanya hanya dilakukan pak Rudi dalam adegan teater dengan cerita yang menyayat hati.
“Ben! Ikut gue lagi” ajak pak Rudi padaku, aku menurut saja tanpa banyak pertanyaan. Mungkin jika aku banyak bertanya akan lebih membuat babeh bersedih.
Halaman belakang sekolah, tempat yang paling tidak pernah di pertimbangkan keindahannya. Dekorasi yang tidak di perhatikan membuat halaman belakang sangat tidak enak di pandang.
“Tempat ini indah pada malam hari”
“Iya Beh”
“Cocok untuk tempat melakukan pertunjukan musik akustik”
Aku mengangguk, membayangkan bagaimana pak Rudi dapat amat sangat mengerti tentang keindahan seni. Tak akan ada yang terfikirkan tentang hal seperti yang di fikirkan pak Rudi. Halaman belakang itu memang sangat damai, dengan dibubuhi dekorasi lampu dan susunan kursi penonton yang tertata rapi kemudian di suguhkan dengan alunan musik akustik yang sangat indah sekali.
“Berapa penonton kira-kira?” tanyaku, menanyakan hal yang mungkin saja mencairkan suasana.
“Seratus sampai dua ratus orang”
Aku mendongakan kepalaku, menahan air mata yang nyaris jatuh di pipiku. Teringat bagaimana dulu pak Rudi sangat antusias membantu acara festival ulang tahun sekolah, semua ide dan sarannya menjadikan acara sangat sukses dan berjalan lancar. Sekolah seni itu menurutnya akan terlihat sangat indah pada malam hari.
“Setelah ini Babeh mau kerja dimana?”
“Mau nyoba bekerja di pabrik”
“Nggak akan jadi Dosen di Bandung?” tanyaku lagi penasaran.
“Gue nggak mau lagi ngajar selain di sini Ben!” ucapan itu terdengar sangat menyakitkan, begitu cintanya pak Rudi pada sekolah yang pernah menjadi almamaternya. Membangun sekolah dengan kecintaannya pada seni, dan beliau mencintai almamaternya.
Keliling sekolah yang mungkin untuk terakhir kalinya bagi pak Rudi, bu Wiwit yang merupakan wakil kepala sekolah memanggil pak Rudi. Aku mengerti bahwa ini waktu untuk sebuah perpisahan.
“Nggak kerasa gue udah setua ini” ucapnya sambil berjalan menuju ruangan wakil kepala sekolah. Aku hanya mendengarkan saja.
“Udah lima tahun gue disini, dan sekarang kalian yang harus menjaga hasil perjuangan gue” itu mungkin pesan yang harus aku sampaikan kepada anak seni lainnya. Aku mengangguk tanda mengerti maksudnya, dengan berat hati aku meninggalkan pak Rudi. Kembali menuju ruang seni.
Tiga puluh menit kemudian ternyata pak Rudi masih menyempatkan untuk mengunjungi ruang seni, mungkin untuk berpamitan.
“Gue pamit sama kalian” ucapnya dengan nada berat, ber-akting seperti seorang yang tanpa beban, namun kali ini pak Rudi tidak lagi handal dalam memainkan peran karakternya. Adegan ceria itu sangatlah buruk terlihat, mata pak Rudi jelas tidak bermain.
Semuanya berhamburan memeluk pak Rudi, mengucapkan kalimat perpisahan.
“Jaga ruangan ini, cintailah seni dari hati kalian” itu nasehat yang sangat baik sekali, kami akan mengingatnya selalu.
Pak Rudi benar-benar otak seni dari balik julukan sekolah seni yang dimiliki sekolahku. Lima tahun yang lalu di rintis beliau, saat ini kami harus menjaga julukan itu. sebagai tanda terimakasih kami selama ini, ya kami akan mencintai seni seutuhnya dari hati.
“Terimakasih untuk inspirasinya”
Seperti yang di kisahkan oleh Rizal kepada penulis. Cerpen ini di persembahkan sebagai tanda perpisahan dengan pak Anggi, guru kesenianku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar